• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

Jakarta – Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai tantangan besar terhadap demokrasi elektoral Indonesia menjelang pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019 adalah menguatnya polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas. Hal ini, kata Titi terwujud dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA.

“Politik identitas tentunya berbahaya terhadap masa depan demokrasi Indonesia terutama dua agenda politik mendatang, yakni pilkada seretak 2018 dan pemilu 2019,” ujar Titi di Jakarta, Sabtu (9/12).

Menurut Titi, peristiwa pada beberapa pilkada tahun 2017 membuat sejumlah oknum beranggapan bahwa kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA merupakan pendekatan yang mudah, murah, dan efektif untuk meraih kemenangan. Politik identitas dinilai sebagai cara ampuh mengalahkan lawan.

“Apalagi jika aktor politik yang terlibat tak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif, dan demokratis,” tandas dia.

Media sosial, kata dia menjadi pemicu luar biasa berkembangnya kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA. Lebih berbahaya lagi, lanjut dia adalah media perpesanan personal macam Whatsapp, LINE, BBM, dan sejenisnya yang menjadi medium tak terbendung untuk menyebarkan kebencian, kabar bohong, dan fitnah seputar calon, penyelenggara, maupun teknis administrasi pelaksanaan pilkada.

“Tidak hanya calon yang jadi korban, di Pilkada DKI 2017 lalu misalnya, KPU beserta jajarannya juga tak luput dari tindakan kotor ini. Bahkan adminstrasi pemilu dimanipulasi luar biasa dengan pesan-pesan manipulatif yang beredar cepat via media sosial dan media perpesanan,” ungkap dia.

Belum lagi, kata Titi, tidak optimalnya pengawasan dan penegakan hukum untuk memberi efek jera agar praktik ilegal tersebut tidak terus berlanjut. Dia juga mengakui bahwa penegakan hukum semata menjadi dilematis di saat digital literacy atau pendidikan bagi warga untuk melek digital tidak dilakukan optimal oleh para pemangku kepentingan.

“Obat paling mujarab melawan kampanye jahat dan hoax adalah dengan menciptakan masyarakat yang melek digital, karenanya pendidikan bagi warga untuk menjadi pengguna digital yang bijaksana mestinya menjadi agenda prioritas berkesinambungan dan juga terkonsolidasi antarsemua pemangku kepentingan terkait pemilu, meliputi KPU, Bawaslu, Kominfo, Kemdiknas, Kemdikti, Kempora, KPPPA, Kemdagri, pemerintah daerah, dan tentu masyarakat sipil,” terang dia.

Sebagaimana diketahui, Pilkada Serentak 2018 akan dilaksanakan di 171 daerah yang meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Tahapannya sudah resmi dimulai sejak September 2017 dengan hari pemungutan suara Rabu, 27 Juni 2018.

Pilkada 2018 menjadi tonggak penting bagi perjalanan pemilu dan konsolidasi demokrasi Indonesia. Bukan hanya karena Pilkada Serentak 2018 melibatkan banyak provinsi dengan pemilih gemuk, tapi juga Pilkada Serentak 2018 berada di antara waktu menuju Pemilu Serentak 2019.

Tahun 2019 tersebut, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan diselenggarakan secara bersamaan, yaitu pada hari yang sama, waktu yang sama, dan TPS yang sama pula. Pemilu Serentak 2019 yang dikenal juga sebagai pemilu lima kotak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota, DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wakil presiden.

Sumber: http://www.beritasatu.com/politik/467546-perludem-menguatnya-politik-identitas-jadi-tantangan.html