• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo menyatakan telah menyerahkan nama-nama calon penjabat gubernur yang akan ditugaskan ke beberapa provinsi yang menggelar Pilkada serentak, kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. “Saya sudah lapor kepada Menko Polhukam, sudah diambil alih sama Pak Wiranto.

Saya hanya taat dan nurut instruksi saja,“ kata Tjahjo Kumolo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (1/2). Setelah itu, lanjut Tjahjo nama penjabat gubernur tersebut akan diserahkan ke Presiden Jokowi. Termasuk dua nama dari perwira tinggi (Pati) Polri yang sempat menjadi polemik.

“Pak Wiranto akan bersama Pak Mensesneg (Pratikno), Pak Seskab (Pramono Anung) untuk lapor kepada Presiden. Keputusannya bagaimana terserah Istana,” ucapnya. Ia contohkan pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara, akan dilakukan pada bulan Juni. Sebab menunggu dulu, masa jabatan Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara, selesai.

Bahkan, ada gubernur masa jabatannya habis pada tahun depan. Dan, tidak boleh satu hari pun, masa jabatan gubernur dikurangi. Sebelumnya, Presiden meminta semua pihak tidak meributkan hal-hal yang belum tentu kepastiannya. “Belum masuk kok, jangan-jangan enggak masuk ke meja saya, sudah ribut saja. Belum tentu masuk ke meja saya,” ucap Presiden, Rabu (31/1).

Saat disinggung mengenai wacana pejabat gubernur dari Pati Polri sebagaimana yang disampaikan Kemendagri sudah membuat gaduh, Presiden menanggapi santai. Menyoroti polemik penjabat gubernur dari unsur Polri tersebut, Policy Center Iluni UI mengadakan diskusi publik bertajuk, “Dwi Fungsi Polri Menjelang Pilkada Serentak” di Jakarta, Kamis.

Diskusi ini menghadirkan pembicara Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara atau PS HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri, peneliti Perludem, Titi Anggraini, anggota Komisi III DPR, HR Muhammad Syafii. Mustafa Fakhri mengatakan, amanah reformasi tegas menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya netralitas TNI yang harus dipastikan. Tapi juga, netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.

Karena itu, wacana menjadikan perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur harus ditolak. Karena itu sama saja mengingkari amanat reformasi. ”Netralitas Polri harus dipastikan dari segala aktivitas politik” katanya. Menurut Mustafa, masih banyak cara lain untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur yang disebabkan oleh pemilihan kepala serentak.

Kata dia, kekosongan jabatan gubernur, telah diatur di dalam UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Dalam UU tersebut dikatakan, dalam terjadi kondisi ada kekosongan akan diangkat penjabat gubernur. Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada menyebutkan, posisi penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri atau daerah yang bersangkutan.

Pintu Masuk

Sementara itu Titi Anggraini dari Perludem mengingatkan bahwa persoalan penjabat gubernur adalah masalah serius, sebab yang bersangkutan nantinya akan menjadi pejabat di provinsi yang menggelart Pilkada.

“Jangan sampai soal penunjukkan penjabat gubernur dari perwira Polri ini ini menjadi pintu masuk permisifitas kita sehingga memuluskan jalan bagi kembalinya dwifungsi yang dulu kita kritisi,” ujar Titi. Dia menyarankan seharusnya Kemendagri sudah menyusun roadmap terkait permasalahan penjabat gubernur di daerah yang menggelar Pilkada, sehingga mengurangi polemik berkepanjangan. fdl/ags/AR-3

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/nama-penjabat-gubernur-telah-diserahkan-ke-menkopolhukam/