• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:11 mins read

“Ini tahun politik!” kata para pegiat pemilu yang wajahnya sering muncul di layar kaca dan namanya muncul di koran-koran ibu kota. Benar tahun politik. Puluhan acara bertopik “Mencari Pemimpin 2019” menjamur di waktu utama atau prime time. Para presenter yang (harus) berpenampilan menarik mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang persis dari satu acara ke acara lain, seperti “Menurut Anda, apakah Prabowo akan mencalonkan diri?”, “Jadi prediksi Anda akan muncul poros ketiga?”, dan “Apakah elektabilitas Presiden Jokowi masih kuat?”.

Dengan bahasa gaul anak muda jaman now, saya ingin mengatakan, “Gak penting, brosis!” Media konvensional jangan sering-sering memunculkan bahan perdebatan yang tak penting-penting amat, yang tak ada manfaat bagi perbaikan demokrasi. Demokrasi kita, yang lebih mirip bohirkrasi—kekuasaan para donor—yang mengembangkan embrionya pada gelapnya dana kampanye.

Isu pengaturan dana kampanye untuk Pemilu 2019 belum menjadi sorotan. Padahal, transaksi kebijakan dan pelangengan demokrasi-oligarki dimulai dari tak tersorotnya laporan sumbangan dana kampanye kepada para peserta Pemilu. Senin (16/4), pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Dana Kampanye Pemilu 2019 dilanjutkan. Akankah KPU berani mengambil langkah progresif, dan akankah kita sebagai warga negara mengambil perhatian khusus terhadap pengaturan dana kampanye?

Menyorot pengaturan dana kampanye

Mengawal Pemilu 2019 sejak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu pada 2017, saya menilai perhatian media terhadap pengaturan dana kampanye amat minim. Isu ini tak seseksi lima isu yang disebut sebagai lima isu krusial, yakni sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil), metode konversi suara, dan ambang batas parlemen.

Lima isu krusial! Siapa yang mengkategorikan lima isu tersebut sebagai isu krusial? Krusial untuk siapa dan mengapa itu krusial?

Soren Kierkegaard, filsuf asal Denmark berpesan pada abad ke-19 agar masyarakat tak terbawa arus massifikasi atas suatu pendapat yang dimunculkan oleh segelintir orang. Massifikasi bertujuan untuk mendominasi atau menghilangkan eksistensi suatu agensi demi kepentingan tertentu.

Maka, pertanyaannya lagi,  kategorisasi lima isu krusial dibuat berdasarkan sudut pandang siapa? Mengapa pengaturan dana kampanye tak menjadi isu krusial? Padahal, pembentuk UU meningkatkan secara luar biasa batasan sumbangan dana kampanye baik untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD).

Untuk Pilpres dan Pemilihan Anggota DPR dan DPRD 2019, batasan sumbangan dari perorangan adalah 2,5 miliar rupiah dan dari kelompok atau badan usaha non pemerintah adalah 25 miliar rupiah. Angka batasan ini, pada Pilpres, meningkat dari batasan sebelumnya sebesar 1 miliar rupiah dari perorangan dan 5 miliar rupiah dari kelompok atau badan usaha non pemerintah. Pada Pemilihan Anggota DPR dan DPRD sebelumnya, batasan sumbangan dari perorangan yakni 1 miliar rupiah dan dari badan non pemerintah 7,5 miliar rupiah. Pembentuk UU tak mengatur batasan belanja kampanye.

Sumbangan dana kampanye Pilpres 2014

Berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) yang telah diaudit,  pasangan calon (paslon) Prabowo-Hatta Radjasa menerima sumbangan sebesar 166,53 miliar rupiah. Sumbangan ini berasal dari perorangan dengan total 2,12 miliar rupiah, kelompok dan badan usaha non pemerintah dengan total atau 57,64 miliar rupiah, gabungan partai politik sejumlah 101,77 miliar rupiah, dan uang pribadi Prabowo sebesar 5 miliar rupiah.

Sumbangan terbesar dari perorangan berasal dari Ir. Saut B. Simanjuntak sebesar 150 juta rupiah. 10 badan usaha non pemerintah yang memiliki relasi bisnis dengan Prabowo memberikan sumbangan.

ICW menemukan fakta bahwa sebanyak 7 orang penyumbang perorangan diindikasikan tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk menyumbang dengan jumlah diatas 20 juta rupiah. Dari total 45 penyumbang, tak ada satu pun yang dapat menunjukkan bukti bahwa penyumbang benar telah menyumbang kepada Prabowo-Hatta. 1 penyumbang terindikasi tak mengakui telah menyumbang kepada Prabowo-Hatta.

Sementara itu, Jokowi-JK menerima sumbangan sebesar 312,38 miliar rupiah. Total sumbangan dari perorangan sebesar 42,7 miliar rupiah, kelompok dan badan usaha non pemerintah 63 miliar rupiah, dan gabungan partai politik 200 miliar rupiah. Sisanya, sumbangan dari paslon.

Ada 154 orang yang menyumbang dengan nilai lebih dari 20 juta rupiah. Melinda Aksa, yang pernah menjabat sebagai direktur, komisaris, dan pemegang saham pada beberapa perusahaan di Group Bosowa yaitu PT. Bosowa Corporindo, PT. Bosowa Berlian Motor dan PT. Semen Bosowa Indonesia, menyumbang 1 miliar rupiah. Perusahaan-perusahaan di bawah Aksa Mahmud, ipar JK[1] sekaligus Bendahara Partai Golongan Karya (Golkar) ini juga turut menjadi penyumbang dana kampanye Jokowi-JK.

Temuan ICW, 8 penyumbang tak menyumbang sesuai dengan nominal yang dicantumkan di dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye. Ada 21 penyumbang yang diindikasikan memiliki relasi bisnis dengan Jokowi dan JK , yakni 7 badan usaha non pemerintah dan 14 perorangan.

ICW juga menemukan terdapat dana sumbangan 10 miliar berasal dari dua perusahaan yang sahamnya sebagian dimiliki asing.[2] Sama seperti penyumbang Prabowo-Hatta, tak satu pun penyumbang Jokowi-JK yang dapat menunjukan bukti bahwa para penyumbang benar telah menyumbang.

(Informasi selengkapnya dapat dilihat pada link https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Politik%20Uang/ICW_Executive_Summary_Monitoring%20Pilpres%202014.pdf)

Bosowa Group dan pemerintahan Jokowi-JK

Berita mengenai Bosowa Group dan pemerintahan Jokowi-JK dapat ditelusuri secara mudah melalui internet. Masukkan kata kunci “Bosowa Group Jokowi Jusuf Kalla”, Pembaca akan mendapatkan 4.880 hasil pencarian.

Saya tak memasukkan seluruh hasil temuan yang saya nilai kredibel, tetapi ada dua isu yang perlu disorot. Pertama, pada Kamis, 15 Desember 2016, finance.detik.com[3] memberitakan bahwa JK meresmikan pabrik semen dan terminal Liquified Petroleum Gas (LPG) milik Bosowa Group di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Proyek ini mendapatkan kredit usaha dari Bank Mega dan Bank Negara Indonesia (BNI) dan memiliki total nilai investasi sebesar 2 triliun rupiah.

Kedua, Bosowa Group mendapatkan proyek energi listrik nasional sebesar 35 ribu mega watt di Jeneponto. Pada acara peresmian di Kampung Punagayya, Desa Punagayya, Kecamatan Bangkala, Jeneponto, Presiden Direktur PT Bosowa Group, Erwin Aksa, mengatakan bahwa kontrak proyek ditanda tangani di depan Presiden RI, Jokowi.[4]

Bosowa menjadi eksekutor kebijakan ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK di tiga bidang usaha, yakni semen, LPG, dan energi listrik. Hubungan Bosowa Group dengan Pemerintahan Jokowi-JK bukan sekadar hisapan jempol belaka.

Sayangnya, saya tak menemukan dokumen yang memuat total sumbangan dari Bosowa Group kepada Jokowi-JK pada kampanye Pilpres 2014 karena tak ada softcopy dokumen yang dapat diunduh, sekalipun di website arsip KPU. Alasan yang sama mengapa saya hanya mampu menelusuri hubungan Bosowa Group dengan Pemerintah Jokowi-JK dan tak memeriksa hubungannya dengan perusahaan penyumbang lain.

Keberanian penyelenggara pemilu untuk menertibakan dana kampanye diperlukan

Masih di posisi yang sama saat saya menulis opini berjudul “Dana Kampanye dan Perlawanan terhadap Oligarki, Berharap pada Visible Hands Penegakan Hukum Pemilu” (dapat diakses melalui link http://rumahpemilu.org/dana-kampanye-dan-perlawanan-terhadap-oligarki-berharap-pada-visible-hands-penegakan-hukum-pemilu/), saya masih berharap pada KPU untuk dapat memperketat pengaturan dana kampanye Pemilu 2019. Sejumlah temuan KPK mesti dijadikan pelajaran.

Pada rapat dengar pendapat Senin (9/4), anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) meminta KPU untuk memperketat dan memperdalam proses audit laporan dana kampanye. Bahkan, keempatnya meminta agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan pengawasan dan penelusuran terhadap kebenaran sumber dana kampanye.

“Audit itu wewenang, Pak. Audit itu mentrack hingga ke bawah. Apakah forensik ataukah bagaimana. Kalau kita mengaudit, harus telisik sumbernya. Sumber kalau diaudit, kita harus tahu dari mana sumber dananya, sebesar apa, kapan. Itu namanya audit. Jadi, jangan seakan-akan KPU tidak punya kewenangan. Orang jelas-jelas kata UU adalah diaudit!” tegas Rufinus Hutauruk dari Fraksi Partai Hanura.

Kalimat ini mengingatkan saya pada pernyataan Ketua Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu, Muhammad Lukman Edy, yang mengatakan bahwa peningkatan batasan sumbangan dana kampanye untuk Pemilu 2019 ditujukan agar peserta pemilu jujur dalam melaporkan penerimaan sumber dana kampanye. Kecilnya batasan sumbangan dana kampanye, menurut Lukman, menyebabkan paslon berbohong di laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).

“LPSDK  itu dibikin semaunya. Makanya politik uang gak bisa dilacak. Banyak orang yang memberikan sumbangan gelap dan pakai identitas orang lain. Misalnya, si Badu menyumbang uang setengah miliar. Padahal, selama ini dia hanya bayar pajak 250 ribu. Nah, orang bayar pajak segitu tapi bisa nyumbang setengah miliar tuh gimana?” kata Lukman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan (3/5).[5]

Lontaran-lontaran kalimat yang diucapkan oleh anggota Komisi II dan mantan Ketua Pansus RUU Pemilu harus dimaknai secara progresif oleh penyelenggara pemilu untuk membuat aturan ketat mengenai laporan dana kampanye. Salah satunya yakni melakukan audit forensik terhadap laporan.

Memang KPU melalui Hasyim Asyarie mengatakan bahwa audit yang dimaksud oleh pembentuk UU Pemilu adalah berkenaan dengan administrasi, tetapi UU Pemilu tak menyebutkan mekanisme audit secara rinci di UU sehingga KPU dapat menafsirkan asas kepatuhan secara progresif dengan melakukan audit forensik. ICW yang notabene bukan lembaga pemerintah sanggup melakukan penelusuran terhadap laporan dana kampanye, lalu mengapa KPU tidak?

KPU perlu berani mengemukakan gagasan audit forensik kepada Komisi II pada rapat berikutnya.

Tak hanya KPU, Bawaslu dengan wewenangnya mengawasi dana kampanye harus mengambil peran strategis. Bawaslu telah cukup progresif dengan mengadakan nota kesepahaman dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)  dalam mengawasi dana kampanye di Pemilu 2019. Ke depannya Bawaslu harus memastikan petugas pengawas lapangan dan Bawaslu kabupaten/kota untuk berani membawa kasus politik uang ke ranah hukum, tak pandang bulu.

Dengan tagline Bawaslu “Bersama rakyat awasi pemilu”, Bawaslu harus memastikan mata dan tangannya-melalui partisipasi masyarakat-hadir di lapangan untuk melaporkan berbagai pelanggaran dan mencatat kegiatan kampanye. ICW, dalam kajiannya menilai bahwa kegiatan-kegiatan kampanye paslon menunjukkan angka yang lebih besar dari angka yang dilaporkan.

Politik uang, politik mahal, dan pemerintahan terpilih di 2019

Politik memang membutuhkan uang, tetapi uang mestinya tak menjadi segalanya di dalam politik. Kesalahan mengatur uang di dalam proses politik sama fatalnya dengan tidak ada aturan sama sekali.

Politik uang di Indonesia menjadi salah satu sumber yang menyebabkan biaya politik elektoral terasa mahal. Biaya ini itu menyebabkan peserta pemilu menerima sumbangan dana kampanye dari orang per orang, kelompok, dan badan usaha non pemerintah yang hendak melicinkan usahanya melalui aturan longgar dana kampanye. Hal ini, mustahil jika penyelenggara pemilu tak menyadarinya.

Jika tak dapat diterapkan untuk Pemilu 2019, penyelenggara pemilu mesti mulai membangun sistem informasi teknologi dana kampanye yang mampu mengintegrasikan antara laporan dana kampanye peserta pemilu yang diinput setiap kali peserta pemilu menerima sumbangan, dengan rekening dana kampanye. Melaporkan sumbangan dana kampanye per real time dapat membantu mendorong akuntabilitas dana kampanye sekalipun tak tuntas menghapuskan oligarki di dalam demokrasi. Sistem informasi ini setidaknya akan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kandidatnya atau kandidat lawannya menerima sumbangan dana kampanye dari siapa saja.

Pemilih yang mendukung go green tak akan memilih kandidat yang menerima sumbangan dari perusahaan perusak lingkungan hidup. Pemilih yang rumah atau tanahnya digusur secara paksa oleh pembangunan yang digalakkan oleh perusahaan pembangun juga tak akan memilih kandidat yang menerima sumbangan dari perusahaan kontraktor. Dan sebagainya.

Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye amat penting untuk menunjukkan kepada publik bagaimana profil kandidat, kekuatan di baliknya, komitmen kandidat terhadap janji-janji kampanye dan memperlihatkan gambaran pemerintahan terpilih. Poinnya, publik berhak mendapatkan informasi utuh tentang siapa saja donor dibalik dana kampanye para kandidat.

Jika kita serius melawan oligarki, tak boleh ada aturan longgar tentang dana kampanye. Beberapa provinsi di Australia melarang kandidat menerima sumbangan dari perusahaan properti. Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat melarang kandidat menerima sumbangan dari perusahaan eksplorasi minyak.

Perlawanan kita terhadap oligarki dalam proses demokrasi, akan jalan kemana?

AMALIA SALABI

 

[1]Kambie, AS. “Kekayaan Ipar Jusuf Kalla Kalahkan Kekayaan Adik Prabowo Subianto”. Berita dalam http://makassar.tribunnews.com/2014/12/05/kekayaan-ipar-jusuf-kalla-kalahkan-kekayaan-adik-prabowo-subianto .  Diakses pada 12 April 2018, pukul 14.32 WIB.

[2]Rochman, Fathur. Rochman, Fathur. Ini Hasil Monitoring ICW terhadap Laporan Dana Kampanye Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Berita dalam https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/18542121/Ini.Hasil.Monitoring.ICW.terhadap.Laporan.Dana.Kampanye.Prabowo-Hatta.dan.Jokowi-JK.  Diakses pada 12 April 2018, pukul 14.28 WIB.

[3] Daniel, Wahyu. “JK Resmikan Pabrik Semen dan Terminal LPG Bosowa di Banyuwangi”. Berita dalam https://finance.detik.com/industri/d-3372277/jk-resmikan-pabrik-semen-dan-terminal-lpg-bosowa-di-banyuwangi-rp-2-t Diakses pada 12 April 2018, pukul 14.26 WIB.

[4] Ancha. “Jokowi Akan Resmikan Proyek Listrik Nasional di Jeneponto”. Berita dalam http://beritakota.co.id/Berita/2016/11/12/jokowi-akan-resmikan-proyek-listrik-nasional-di-jeneponto/.  Diakses pada 12 April 2018, pukul 14.29 WIB. Berita mengenai proyek listrik nasional juga dapat dilihat di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160630113641-85-142054/bosowa-bidik-pltu-senilai-us-300-juta-beroperasi-pada-2017.

[5] Salabi, Amalia. “Batasan Sumbangan Dana Kampanye Dinaikkan, Lebih Banyak Manfaat atau Mudharat”. Liputan khusus dalam http://rumahpemilu.org/batasan-sumbangan-dana-kampanye-dinaikkan-lebih-banyak-manfaat-atau-mudharat/.  Diakses pada 12 April 2018, pukul 15.46 WIB.