• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read
JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, memaksakan kehendak atau intimidasi dalam memilih salah satu calon pemimpin kepada pihak lain merupakan pelanggaran konstitusi.
Bagi pelanggar, kata Titi, sanksinya bisa berupa pidana kurungan penjara.
“Kejahatan terhadap hak kebebasan memilih adalah kejahatan terhadap hak-hak konstitusional. Tidak boleh ada intimidasi dalam bentuk apa pun mempengaruhi seseorang dalam penyelenggaraan pilkada atau pemilu,” ujar Titi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (29/6/2018).
Sanksi bagi yang melanggar tercantum dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 182A yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 24 juta dan dan paling banyak Rp 72 juta”.
Titi mengatakan, paksaan oleh satu pihak kepada pihak lain dengan tujuan memilih pasangan calon pemimpin yang diusungnya merupakan kesesatan dalam memaknai loyalitas terhadap calon yang diusungnya.
Titik mengatakan, seorang atasan di sebuah instansi sah-sah saja mengampanyekan kepada bawahannya untuk memilih calon yang dia suka.
Namun, merupakan sebuah pelanggaran jika atasan atau lembaga memaksakan kehendakmya tersebut.
Terkait kasus dugaan adanya paksaan dalam memilih yang terjadi terhadap seorang guru di Bekasi, Titi belum mengetahu informasi tersebut.
Namun, dia berharap, fenomena itu hanya fenomena kasuistik dan bukan fenomena umum.
“Kalau itu menjalar dan menjadi fenomena umum, itu sangat luar biasa, itu teror dalam demokrasi kita,” ujar Titi.
Dugaan kasus pemaksaan dalam memilih terjadi di Bekasi. Guru Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Darul Maza Kota Bekasi bernama Robiatul Adawiyah mengaku dipecat karena beda pilihan dengan arahan sekolah dalam Pilkada 2018.
Kabar pemecatan guru ini mulanya viral di media sosial Facebook. Informasi itu diunggah pemilik akun bernama Andriyanto Putra Valora yang merupakan suami dari Robiatul. Dugaan pemecatan disampaikan melalui pesan WhatsApp.
Terkait masalah ini, pihak pimpinan sekolah belum dapat dimintai keterangan. Hanya saja, Tri, yang merupakan seorang guru di sekolah tersebut menyampaikan bahwa pihak sekolah tidak berniat melakukan pemecatan.
Menurut dia, percakapan WhatsApp tersebut hanya salah ucap karena pihak sekolah lelah setelah mengadakan event-event di sekolah.
“Mungkin semuanya jadi dalam kondisi lelah ada salah ucap, ada salah kata, itu wajar saja, semua orang bisa dalam posisi seperti itu dan itu enggak ada rencana atau kata terucap sebuah keputusan yang sepihak, enggak ada sebenarnya,” kata Tri, Jumat.
Pihak sekolah dan Robiatul telah berdamai. Robia menerima permintaan maaf pihak sekolah. Kendati demikian, ia menolak ajakan pihak sekolah untuk kembali mengajar di sana.