• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:9 mins read

Banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ditengarai akibat rumitnya sistem pemilu di Indonesia.

Setelah hampir dua minggu penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia, laporan petugas KPPS yang meninggal berjumlah hingga 318 orang. Apa yang menjadi penyebab hal tersebut? Benarkah sistem pemilu serentak yang diadakan sangat rumit dan sangat menyita tenaga dan pikiran? DW berkesempatan berbincang dengan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

DW: Sampai hari ini lebih dari 300 petugas pemilu meninggal dunia. Di tahun 2014 ada 150 korban. Di mana letak kesalahannya? Kenapa kejadian ini berulang?

Titi Anggraini: Tentu semua pihak tidak ada yang menginginkan peristiwa ini terjadi. Tetapi yang harus dilakukan saat ini semua pihak harus ikut bersama-sama mengambil tanggung jawab sehingga kita bisa mendapatkan penyelesaian dan juga memberikan apresiasi dan penghargaan yang sepadan kepada mereka yang sudah mendedikasikan jiwa raganya kepada penyelenggaraan pemilu 2019 yang sudah saya kira betul-betul mengangkat harkat dan martabat Indonesia. Nah itu yang memang harus kita pikirkan saat ini.

Tentang beban yang harus mereka kerjakan, saya kira itu yang paling berkontribusi bagi banyaknya korban jiwa akibat kelelahan, kapasitas beban yang tidak sepadan dengan kemampuan fisik secara wajar.

Faktor apa saja yang menjadi kontribusi beban kerja berlipat dari para petugas pemilu ini?

Pertama, pemilu dengan lima surat suara. Di tahun 2014 diselenggarakan empat pemilu sekaligus dengan empat surat suara, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, itu sudah menimbulkan kelelahan dan beban kerja yang besar. Apalagi sekarang beban kerjanya bertambah, yaitu satu surat suara lagi. Jadi pemilu serentak lima surat suara, itu yang paling berkontribusi bagi beratnya beban dan tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh para petugas.

Yang kedua, pengadministrasian pemilu itu juga menambah bobot beban kerja yang membuat para petugas harus bekerja ekstra. Pemungutan suara saya kira relatif mudah tetapi ketika memasuki penghitungan suara, untuk (penghitungan suara) presiden masih bisa dilakukan dengan baik. Tetapi ketika sudah masuk ke penghitungan suara DPR di mana yang dihitung bukan hanya suara yang diperoleh partai politik tapi juga caleg yang diusung partai politik, dan itu ratusan. Jadi mereka harus mengelola ratusan suara menyangkut kandidat. Dan itu kan tidak hanya memerlukan fisik tetapi juga konsentrasi, mental, psikis begitu ya.

Belum lagi situasi pada hari H itu mereka harus bekerja lepas tengah malam, rata-rata baru selesai jam 2 (pagi/red) dan mereka masih harus menerjemahkan lagi hasilnya dalam berbagai ratusan dokumen yang harus mereka kerjakan, jadi memang sangat melelahkan. Dan perlu dicatat juga bahwa petugas KPPS itu bekerja bukan hanya saat pemungutan suara. Tetapi mereka bekerja dari hari-hari sebelumnya. Ketika mereka menerima salinan DPT, harus menulis surat pemberitahuan pemungutan suara atau yang lebih populer dikenal sebagai formulir C6, undangan memilih kepada warga. Jadi bisa dibayangkan kalau pemilih di satu TPS ada 300 orang, mereka harus menulis undangan kepada 300 pemilih mungkin tersebar di beberapa ratus rumah, itu harus didistribusikan sebelum hari H.

Lalu sebelum hari H mereka juga harus mendirikan TPS. Kebanyakan di ruang terbuka. Dan pada hari H nya bekerja mulai subuh, selesai solat subuh mereka langsung kerja stand by di TPS sampai dini hari, itu non-stop, tidak hanya berhenti sampai di sana. Harus pula mengantar kotak suara yang lima itu ke kantor kelurahan karena di sana mereka harus mengirimkan berbagai surat suara, dokumen dan perlengkapan yang diterima dan dikembalikan. Dan kadang-kadang tidak berhenti disitu. Pada hari H ada kompleksitas teknis lain yang dihadapi. Misalnya, surat suara yang kurang, logistik pemilu yang datang terlambat, ketika menghitung, formulir ada yang tidak ada. Jadi itu menambah lagi beban fisik dan pikiran mereka. Bahkan ada yang ketika menyetorkan kotak suara ke kelurahan, baru diketahui bahwa formulir C1-nya salah isi. Mereka harus mengerjakan ratusan dokumen, menghitung suara ratusan kandidat, yang saya kira dari sisi kapasitas fisik, itu tentu diluar kemampuan fisik manusia yang wajar.

Belum lagi ada pengakuan-pengakuan bahwa mereka relatif kurang rileks karena misalnya pada hari H itu ada kekhawatiran surat suaranya kurang karena animo pemilih yang berlebih misalnya karena banyaknya pemilih pindahan dari daerah lain yang membuat mereka harus mengatur strategi agar surat suara tidak kurang. Lalu kemudian ketakutan untuk melakukan kesalahan dan dituduh curang. Jadi saya kira ini adalah dampak dari kompleksitas sistem di mana kita menyerentakkan lima pemilu sekaligus, yang bisa disebut sebagai pemilu borongan ketimbang pemilu serentak, dan ditambah lagi permasalahan manajerial yang menguras tenaga, pikiran, dan selain juga di beberapa kasus ada kontribusi kondisi mereka yang sudah kurang fit sebelumnya.

Jadi saya kira itu yang bisa menjadi gambaran dampak dari pemilu serentak terbesar satu hari di dunia dan the most complexed election system in the world, yang membuat tenaga terkuras, pikiran terkuras.

Di tahun 2014 pemilu empat surat suara, ada 150 korban jiwa. Sekarang pemilu dengan lima surat suara. Apakah tidak ada antisipasi dari KPU dan pihak berwenang tentang adanya bahaya korban jiwa? Apa yang luput dari perencanaan?

Saya kira kata luput mungkin tepat ya, karena kita tidak membayangkan sebegitu detilnya, dan memang ada banyak kompleksitas yang dihadapi pemilu 2019 ini. Bayangan kita untuk pemilu serentak ini sudah mulai misalnya awalnya jumlah pemilih di satu TPS itu 500 di dalam UU. Dalam simulasi berulang yang dilakukan KPU tidak mungkin 500. Karena kalau 500 penghitungan suara baru akan selesai subuh. Lalu diputuskan agar mengurangi jumlah pemilih menjadi 300. Kemudian di UU pemilu kita didesain agar petugas itu usianya lebih muda. Dulu 2014 usia minimal 25 tahun. Sekarang dibuat 17 tahun. Tapi memang realitas di lapangan itu tidak bisa dipotret sedetil itu ya. Belum lagi ini adalah pemilu yang dalam pandangan saya sangat tidak rileks. Ada beban dari para pemilih dan petugas penyelenggara akibat dari kompetisi pilpres yang begitu kompetitif, terpolarisasi. Saya kira itu menjadi situasi orang bekerja cenderung jadi lebih ekstra, baik fisik maupun pikiran.

Belum lagi misalnya rekrutmen KPPS yang relatif terlambat. Itu juga saya kira yang menjadi kontribusi upaya kita kurang optimal dalam menyaring petugas. Makanya diturunkan menjadi usia 17 tahun dengan harapan supaya banyak orang muda yang lebih terlibat. Tapi orang muda itu kan juga harus dipersiapkan misalnya melalui kolaborasi sinergisitas dengan organisasi kepemudaan. Tapi kalau waktunya mepet dalam proses rekrutmen, maka akhirnya orang-orang yang terlibat di kepengurusan adalah orang-orang yang ada di kepengurusan RT/RW. Dan kita tahu orang-orang yang terlibat di RT/RW adalah orang-orang yang relatif lebih senior.

Kalau saya mendengar dari pengakuan banyak petugas, mereka sendiri tidak membayangkan bahwa beban kerja mereka itu akan melampaui 16,5 jam. Jadi 16,5 jam itu waktu minimal. Mayoritas mereka melampaui waktu itu. 16,5 jam itu waktu standar.

Bukan hanya KPU ya yang luput memotret detil-detil dan beban tambahan di lapangan itu, tapi saya kira juga pembuat UU dan termasuk juga Perludem. Saya kira ini bisa disebut sebagai bencana nasional karena kita tentu tidak mengharapkan ini terjadi. Saat ini semua pihak harus mengambil tanggung jawab terutama aktor-aktor negara untuk memberikan penyelesaian yang betul-betul humanis untuk peristiwa ini.

Apa bentuk penyelesaian humanis yang Perludem harapkan dari pemerintah dalam masalah ini?

Saya kira negara harus menyatakan tanggung jawabnya ya. Minimal aktor-aktor negara itu secara terbuka menyatakan bertanggung jawab. KPU, pemerintah, pembuat undang-undang karena saya pikir semua ikut kontribusi dalam peristiwa ini. Saya kira harus menyatakan tanggung jawabnya terhadap peristiwa ini.

Yang kedua, memang korban jiwa tidak akan sepadan dengan nilai kompensasi yang akan mereka terima. Tetapi ada keluarga yang ditinggalkan. Itu menurut saya yang harus dipikirkan oleh negara. KPU mengatakan negara sudah menyetujui kompensasi 36 juta bagi para korban. Saya kira dari sisi angka itu tidak akan pernah bisa menggantikan jiwa seseorang yang harus meninggalkan keluarga dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana pun, itu harus diberikan. Termasuk juga korban sakit dan korban kecelakaan kerja, baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat. Dan kemudian apresiasi dan penghargaan imateriil yang harus kita pikirkan. Mereka bukan hanya menyelamatkan pemilu Indonesia tapi juga menjaga nama baik marwah bangsa sebagai negara demokrasi. Saya kira itu yang harus kita berikan dan abadikan kepada lebih dari 300 korban ini, dan yang terpenting evaluasi semua pihak terhadap proses pemilu, terutama pembentuk undang undang. Ini harus menjadi pembelajaran bahwa membuat UU pemilu tidak boleh tergesa-gesa dan harus murni didasarkan dengan itikad baik. Dari sisi sistem harus dapat diaplikasikan dan bisa dijalankan di lapangan.

Lantas, seperti apa desain pemilu rasional yang Perludem gagas?

Kami usulkan dua pemilu serentak dengan durasi waktu jeda 2,5 tahun. Jadi yang pertama pemilu serentak nasional tiga surat suara, jadi DPR, DPD dan presiden/wakil presiden. Kenapa usulnya digabungkan presiden, DPR dan DPD? Karena efek elektoral, pemilih cenderung memilih partai politik yang mengusung calon presiden yang juga dia pilih agar presiden terpilih juga mendapat dukungan yang baik dari parlemen itu tetap harus dipertahankan. Dengan catatan ambang batas pemilihan presiden atau yang dikenal dengan presidential threshold juga harus dihapuskan. Sehingga partai itu bisa optimal untuk berkampanye untuk pilpres sendiri yang dia usung dan juga berkampanye untuk pemilu legislatif DPR.

Lalu 30 bulan setelah pemilu nasional dilaksanakan pemilu daerah. 4 surat suara, untuk memilih DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota, Gubernur, Bupati dan Walikota. Tapi harus dipertimbangkan untuk pemilu serentak daerah karena ada 4 surat suara yang dikelola ya. Gubernur, bupati/walikota calonnya kan relatif lebih sedikit. Tidak ada yang lebih dari puluhan. Juga perlu dipertimbangkan bahwa petugas untuk pemilu serentak daerah juga ditambah jumlahnya, sehingga manajemen untuk tata kelola TPS itu menjadi maksimal. Tetapi apapun itu, kebijakan apa pun itu tidak boleh diputuskan secara tergesa-gesa. Dan yang kedua bagaimana tata kelola pemilu yang dapat dikelola, dan diaplikasikan di lapangan. UU pemilu harus inklusif, tidak boleh disahkan secara tergesa-gesa, harus mendengar semua pemangku kepentingan terutama penyelenggara beserta evaluasinya dan betul-betul harus didasari dengan itikad baik bahwa UU pemilu yang akan datang adalah UU yang memang berjuang untuk membawa praktik pemilu yang jurdil dan demokratis.

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Nurzakiah Ahmad.

Titi Anggraini adalah Direktur Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi). Perludem adalah organisasi nirlaba mandiri yang menjalankan riset, advokasi, pemantauan, pendidikan dan pelatihan di bidang kepemiluan dan demokrasi untuk pembuat kebijakan, penyelenggara, peserta, dan pemilih, yang sumber dananya berasal dari penggalangan serta bantuan lain yang tidak mengikat. Perludem memiliki visi terwujudnya negara demokrasi dan terselenggarakannya Pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat.

Sumber: https://www.dw.com/id/perludem-pemilu-serentak-indonesia-adalah-yang-terumit-di-dunia/a-48545256