• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:2 mins read

Jakarta, Gatra.com – Ambang Batas pencalonan presiden (presidential threshold) kembali dipersoalkan. Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres dalam pilpres.

Executive Director Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, sebenarnya menolak adanya presidential threshold sebab dirasa tidak cocok.

“Indonesia kan ternyata tidak cocok, Indonesia itu beragam, Indonesia itu multikultur lalu diberhadapkan pada 2 pilihan, yang terjadi adalah pemaksaan polarisasi,” ungkap Titi kepada wartawan seusai acara diskusi Politics and Religion in Indonesia di CSIS auditorium, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (2/4).

Titi menilai Undang-Undang Dasar Pasal 6a ayat 2 dan ayat 3 sebetulnya sudah cukup untuk dijadikan landasan.

“Sebenarnya Undang-Undang Dasar (pasal 6a) kita itu punya mekanisme untuk punya threshold alamiahnya yaitu 50% plus 1 dan itu lebih adaptif kepada partai politik,” ucapnya.

Ia menambahkan dari presidential threshold, partai mengalami dilema karena bukan hanya mengurusi partai tapi juga calon presiden yang diusung.

“Bayangkan partai kan berada di tengah-tengah dilema harus kampanye untuk pileg, kampanye untuk capres (juga) yang bukan kadernya,” imbuh Titi.

Ambang batas yang sekarang masih berjalan, bukan hanya merugikan rakyat yang terpolarisasi, tapi juga partai itu sendiri.

“Makanya kita lihat polarisasinya luar biasa kan. Jadi satu sisi ambang batas pencalonan presiden ini melemahkan kaderisasi dan rekrutmen di internal partai,” kata Titi.

Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/413556/politic/perludem-kembali-persoalkan-presidential-threshold