• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menuturkan beberapa dampak yang timbul jika pemilihan kepala daerah ( pilkada) digabungkan dengan pemilu nasional pada 2024. Dampak pertama yakni kompleksitas masalah pada Pemilu 2019 akan terulang kembali. Pada 2019 lalu, pemilu tingkat eksekutif dan legislatif dilakukan serentak. Salah satu persoalan yang muncul terkait jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.

Jika tidak ada perubahan sistem pemilu pada 2024, maka pilpres, pileg dan pilkada akan digelar dalam satu hari. “Mengapa? karena regulasinya pada level undang-undang tidak mengalami perubahan,” kata Titi, dalam sebuah diskusi secara daring, Kamis (11/2/2021). Dampak lainnya yakni penurunan tingkat identifikasi masyarakat terhadap partai politik. Hal ini terjadi intensitas interaksi antara pemilih dengan partai politik meningkat hanya pada agenda elektoral. Pasalnya pilkada pada 2022 dan 2023 akan ditiadakan dan digelar serentak pada 2024. Keserentakan ini, menurut Titi, juga akan berdampak pada melemahnya tingkat pastisipasi masyarakat dalam demokrasi. “Serupa dengan Pilkada 2020, pemerintah akan berusaha maksimal agar prosedural pemilu dan pilkada bisa berjalan baik,” ujar Titi.

Baca juga: Perludem Paparkan Ruwetnya Pemilu dan Pilkada Jika Digelar 2024

Selain itu, Mahkamah Konstitusi akan menjadi sandaran perubahan pengaturan pemilu. Titi mengatakan, kemungkinan itu akan terjadi jika revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Adapun, dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020, MK menegaskan konstitusionalitas pemilu serentak presiden, DPR, dan DPD. Sementara, terkait keserentakannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serta DPRD provinsi/kabupaten, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. “Akhirnya semua berbondong-bondong ke MK untuk melakukan penyesuaian pengaturan,” ungkapnya.

Dampak lainnya, KPU perlu mengeluarkan terobosan dan inovasi terkait penyelengaraan pemilu serentak. Kemudian, pemerintah akan sulit untuk memperbaiki jadwal pilkada selanjutnya. “Pasca- pemilu 2024 akan sulit dilakukan, karena semua akhir masa jabatan itu di 2024,” ucap Titi. Wacana revisi UU Pemilu tengah bergulir di DPR. Salah satu poin perubahan dalam RUU Pemilu adalah normalisasi jadwal pilkada dari 2024 menjadi 2022 dan 2023. Jika pilkada tetap dilangsungkan pada 2024, maka daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan habis pada 2022 dan 2023 akan dipimpin oleh pelaksana tugas hingga 2024. Sejauh ini hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung revisi UU Pemilu. Sedangkan fraksi lainnya menolak revisi dan meminta agar pilkada tetap digelar pada 2024.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menurut Perludem, Ini Dampak jika Pilkada dan Pemilu Nasional Digelar Serentak 2024”, https://nasional.kompas.com/read/2021/02/11/16260981/menurut-perludem-ini-dampak-jika-pilkada-dan-pemilu-nasional-digelar?page=all.