Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka HukumPemilu (IDEA: 2002) menyebutkan bahwa kerangka hukum pemilu harus mewajibkan penyimpanan daftar pemilih secaratransparan dan akurat, melindungi hak warga negara yang memenuhi syarat untuk mendaftar dan mencegah pendaftaran atau pencoretan orang secara tidak sah atau curang.
Dalam konteks pemilu Indonesia, sistem pendaftaran pemilih adalah salah satu hal penting untuk menjamin hak pilih warga negara di dalam pemilihan umum. Hak untuk memilih adalah hak dasar warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan termasuk salah satu Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi. oleh karena itu, sistem pendaftaran pemilih harus dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir. Ada tiga isu yang krusial di dalam suatu sistem pendaftaran pemilih, yaitu siapa yang dimasukkan daftar pemilih, siapa yang melakukan pendaftaran pemilih, dan apakah pendaftaran pemilih itu hak atau kewajiban. Berdasarkan hasil analisis perbandingan dari Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan Pilkada, ditemukan sejumlah masalah yang memerlukan penanganan serius. Melalui kajian yang dilakukan oleh Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU 2011, muncul beberapa solusi alternatif untuk menangani masalah-masalah yang terkait dengan pendaftaran pemilih, diantaranya pengkategorian pemilih dengan beragam variannya, dalam pemutakhiran data harus ditentukan tentang wewenang untuk pemuktahiran data (Hasyim Asy’ari: 2012).
Karena pentingnya menjamin hak-hak warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, maka Jurnal Pemilu dan Demokrasi Nomor 2, Februari 2012 kali ini membahas secara lebih komprehensif masalah pendaftaran pemilih dalam rangka memperkuat sistem pemutakhiran daftar pemilih menjelang pemilu 2014.
Selain itu, untuk merespon pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (yang lebih dikenal sebagai RUU Pemilu), Jurnal Pemilu dan Demokrasi Nomor 2 ini juga membahas beberapa isu krusial yang banyak didiskusikan dan diperdebatkan selama pembahasan RUU Pemilu.
Jurnal edisi ini dibuka oleh tulisan Hasyim Asy’ari yang mengambil tema “Arah Sistem Pendaftaran Pemilih Indonesia: Belajar Dari Pengalaman Menuju Perbaikan”. Dalam tulisannya Hasyim mengulas tentang begitu pentingnya partisipasi pemilih dalam demokrasi dan pemilu. Oleh karena pentingnya hal itu maka kemudian harus disiapkan sejumlah instrumen hukum untuk memberikan jaminan agar pemilih dapat menggunakan hak pilihnya. Namun demikian, menurut Hasyim, masih terdapat problem pada tingkat implementasi, yang utama adalah tidak tersedianya daftar pemilih yang akurat. Dalam konteks itu, maka dalam pemutakhiran daftar pemilih perlu diawali kajian untuk mengidentifikasi sejumlah persoalan yang menyebabkan tidak akuratnya daftar pemilih. Hasil identifikasi itu selanjutnya akan dijadikan dasar untuk menyusun metode dan strategi perbaikan pendaftaran pemilih untuk pemilu berikutnya.
Selanjutnya Andrew Reynolds dan August Mellaz, dalam tulisan bertajuk“Pemilu Indonesia: Mendiskusikan Penguatan Sistem”, membahas tentang sistem pemilu yang menentukan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik. Dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2014, menurut Andrew Reynolds dan August Mellaz, setidaknya terdapat tujuh isu yang perlu diperhatikan guna menyediakan landasan yang sah dan demokratis untuk pemilihan anggota parlemen di tingkat nasional atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketujuh isu tersebut itu adalah: (1) formula penghitungan dan perolehan kursi partai politik; (2) formula dan alokasi kursi DPR ke provinsi; (3) penerapan ambang batas (threshold) perolehan suara sebagai syarat mendapatkan kursi DPR; (4) mekanisme penyertaan gender karena sekarang terdapat sistem daftar calon terbuka; (5) perlu atau tidaknya pengurangan kursi setiap daerah pemilihan; (6) ukuran parlemen atau jumlah anggota DPR, dan; (7) masalah-masalah yang berkaitan dengan desain surat suara dan tata cara pemberian suara.
Didik Supriyanto, mengambil bahasan “Presidensialisme Dalam Sistem Multipartai: Demokrasi dan Pemilu di Brasil dan Indonesia”, membahas tentang sejumlah perbandingan antara Indonesia dan Brasil, dimana secara historis, pemerintahan Indonesia mengalami hal yang serupa dengan Brasil; khususnya, seperti proses impeachment terhadap kepala negara. Hanya saja, kegagalan Brasil dalam penyelenggaran Pemilu dan pemerintahannya di masa lalu diikuti dengan sejumlah refleksi yang menguatkan pemerintahan dan demokrasi yang dianutnya yang tidak terjadi di Indonesia.
Terkait bahasan penegakan hukum, Topo Santoso mengangkat tema “Penguatan Penegakan Hukum Pemilu”. Dalam tulisannya memaparkan bahwa penegakan hukum merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga integritas pemilu sekaligus faktor pencegahan terhadap kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi, Penegakan hukum Pemilu di Indonesia masih mengandung sejumlah permasalahan yang menghambat efektifitas penegakan hukum pemilu, antara lain tentang kapasitas penegak hukum yang masih konvensional sehingga tidak mampu menangani sejumlah pelanggaran pemilu dengan baik, batasan waktu yang terdapat dalam UU pemilu seperti batas waktu pelaporan, penyidikan, penuntutan, dan juga proses peradilan yang justru membuat perkara begitu mudah lolos dari proses peradilan. Solusi yang ditawarkan, pada dasarnya bukan dengan pembentukkan peradilan khusu pemilu tetapi pada optimalisasi proses peradilan pidana dan “sengketa dalam proses” yang selama ini diputus oleh peradilan umum dan PTUN agar sesuai dengan kerangka hukum, sistem, dan tujuan Pemilu. Jadi memperkuat lembaga peradilan yang ada, dengan kekhususan, penunjukkan hakim yang mengerti seluk beluk Pemilu serta peningkatan kapasitas bagi hakim yang menangani perkara pidana Pemilu dan sengketa dalam proses Pemilu tersebut.
Memperkuat bahasan penegakan hukum, pada tulisan berikutnya, Devi Darmawan mengulas masalah “Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu yang Sudah Daluwarsa”. Devi membahas bahwa batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu merupakan ketentuan yang menghambat penegakan hukum Tindak Pidana Pemilu yang dalam khasanah hukum pidana dikenal dengan istilah ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan karena implikasi yuridis dari ketentuan batas waktu pelaporan adalah tidak dapatnya Penuntut Umum membawa suatu perkara untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan sehingga banyak pelaku Tindak Pidana Pemilu bebas dari pertanggungjawaban pidana setelah lampaunya batas waktu pelaporan tersebut. Penerapan Peraturan Pemilu merupakan implementasi dari asas Lex Specialis derogat Legi Generalis sehingga dalam hal ini KUHP tidak lagi berlaku dalam menyelesaikan permasalahan hukum Tindak Pidana Pemilu yang sudah daluwarsa, sekalipun KUHP mengatur ketentuan daluwarsa penuntutan yang lebih rasional dan lebih panjang. Namun demikian, untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat penerapan asas tersebut harus dipertimbangkan kembali. Jawabannya adalah dengan metode penemuan hukum Rule Breaking yang digagas oleh Hukum Progresif, dimana Peraturan yang tidak memberikan kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat harus dikesampingkan untuk mewujudkan keadilan substantif.
Sedangkan Heriyanto dalam tulisannya fokus membahas masalah “Efektivitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh KPU dan Jajarannya dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Heriyanto menguraikan bahwa PTUN merupakan salah satu peradilan administrasi yang turut menjadi wadah penyelesaian sengketa kepemiluan. Akan tetapi sebagai Peradilan Administrasi, seringkali putusannya tidak dipatuhi oleh penyelenggara Pemilu. Dengan demikian, Kepatuhan hukum yang bersifat internalization sangat dibutuhkan untuk membuat sistem peradilan administrasi berjalan dan memberikan manfaat bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Secara yuridis formal, Undang-Undang nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 51 Tahun 2009 mengandung kelemahan yang dapat mendorong ketidakpatuhan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Solusinya adalah dengan melakukan revisi terhadap UU tersebut dan membuat Undang-Undang baru yang sifatnya membatasi kompetensi absolut PTUN dalam memeriksa dan mengadili sengketa pemilu atau dengan menyediakan hakim khusus yang kompeten mengenai kepemiluan dalam tubuh PTUN, serta memberikan sanksi yang nyata pada penyelenggara Pemilu yang tidak melaksanakan putusan PTUN.
Melengkapi diskusi yang tengah hangat saat ini tentang topik keterwakilan perempuan, Jurnal Pemilu dan Demokrasi Nomor ini menyajikan tulisan Mauricio Claudio dan August Mellaz tentang “Meningkatkan Peluang Keterpilihan Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislatif Indonesia”. Dalam tulisannya Mauricio Claudio dan August Mellaz menyebutkan bahwaKeputusan MK yang memperbolehkan pemilih untuk memberikan suara kepada satu calon manapun (atau untuk partai saja) dan suara yang diberi langsung kepada calon tertentu, telah mengubah struktur surat suara dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka. Akibatnya, surat suara terbuka dengan memungkinkan pilihan pemilih terhadap calon secara individu. Namun, perubahan menjadi surat suara dengan sistem terbuka, telah menimbulkan konsekuensi yang tidak disengaja meniadakan kuota gender, bagi pemilih yang sekarang dapat memilih seorang caleg, tanpa memandang urutan calon tersebut di dalam daftar calon partai dan tanpa memandang gender dari caleg tersebut. Tulisan ini menjelaskan tiga langkah yang dapat meningkatkan peluang terpilihnya caleg perempuan dalam konteks sistem surat suara daftar terbuka Indonesia saat ini. Opsi-opsi lainnya adalah mencadangkan kursi bagi kaum perempuan di dalam legislatif, atau sebuah sistem “top up” dimana tambahan caleg perempuan di legislatif yang berada di luar ruang lingkup makalah ini. Hal ini bukan berarti opsi-opsi tersebut tidak layak/patut untuk dibahas dan dipertimbangkan untuk diadopsi.
Dan sebagai penutup, kami kembali menyajikan tulisan Mauricio Claudio dan August Mellaz, yang membahas “Proses Perhitungan Perolehan Suara-Kursi Partai Politik: Rekomendasi Perubahan Dalam Revisi Undang-Undang Pemilu Legislatif 2014” Tulisan tersebut menguraikan tentang kompleksitas perhitungan atau konversi suara partai politik menjadi kursi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Peraturan Teknis KPU yang menimbulkan kesulitan dalam implementasinya. Tulisan mereka antara lain memberikan sejumlah rekomendasi untuk menyederhanakan permasalahan tersebut yang ditujukan pada pembuat kebijakan, DPR, penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), peserta Pemilu, dan juga organisasi masyarakat, serta masyarakat sipil.
Akhir kata, segenap Redaksi Jurnal Pemilu dan Demokrasi mengucapkan selamat membaca, semoga beragam bahasan dan tema yang disajikan dalam Jurnal Nomor 2, Februari 2012 ini mampu memberikan kontribusi bagi dunia kepemiluan Indonesia dan menjadi bagian dari proses penting konsolidasi demokrasi Indonesia yang semakin kuat dan mantap.
Jakarta, 27 Februari 2012
Redaksi