• Post author:
  • Post category:Artikel
  • Reading time:5 mins read

Meskipun otonomi khusus di Papua telah diberlakukan selama lebih dari satu dasawarsa, masalah keamanan merupakan persoalan yang cukup serius di ”Bumi Cenderawasih” ini. Gambaran tentang kondisi keamanan di Papua selama ini adalah ibarat bara dalam sekam.

Kerusuhan dan penembakan misterius bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja tanpa kejelasan pengungkapan kasusnya. Jaminan keamanan terhadap warga di Papua masih jauh panggang dari api.

Hasil jajak pendapat Kompas menguatkan pandangan tersebut. Lebih dari separuh responden yang berdomisili di wilayah Papua menyatakan tidak puas dengan kondisi keamanan di daerahnya saat ini. Ketidakpuasan ini lahir dari kekhawatiran responden terkait sejumlah peristiwa kerusuhan dan penembakan misterius yang terjadi di Papua.

Menurut catatan Kompas, sejak April 2011 hingga Juni 2012 terjadi lima kerusuhan di Papua dengan korban tewas mencapai 27 orang. Kerusuhan itu terjadi di sejumlah wilayah, seperti Abepura di Jayapura, Ilaga di Puncak Jaya, dan Manokwari, Papua Barat.

Sejumlah kerusuhan ini dipicu konflik antar-pendukung politik kandidat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah ataupun penembakan terhadap aktivis organisasi massa oleh polisi. Selain korban jiwa, tak terhitung kerugian material yang harus ditanggung warga lokal.

Beberapa kasus penembakan yang meminta korban jiwa juga terjadi. Sasaran penembakan terkesan acak, mulai dari aparat keamanan, pekerja PT Freeport Indonesia (FI), warga biasa, hingga anggota kelompok separatis. Obyek lain yang juga dipilih sebagai sasaran penembakan adalah fasilitas publik dan alat transportasi, terutama pesawat terbang yang menjadi tulang punggung Papua.

Gambaran tersebut memperlihatkan dua hal, yakni, pertama, otonomi khusus yang diberlakukan di Papua lebih dari satu dasawarsa tak bisa menjamin dipenuhinya hak atas keamanan dan kesejahteraan bagi warga lokal. Kedua, kebijakan otonomi khusus tak bisa mengubah hubungan eksploitatif yang berlaku di Papua.

Dari aspek sumber daya alam, kue ekonomi yang diperebutkan memang luar biasa besar. Dalam situs resminya, PT FI menyatakan, Pemerintah Indonesia menerima manfaat langsung dari eksploitasi perusahaan ini sebesar 1,9 miliar dollar AS pada tahun 2010. Belum terhitung manfaat dari sumber daya alam hutan atau perikanan.

Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat Papua tetap terpuruk. Tingkat kemiskinan di Papua mencapai 36,8 persen. Bahkan, Indeks Pembangunan Manusia provinsi ini terus berada di peringkat terendah secara nasional sejak 2005.

Corak hubungan eksploitatif seperti ini mengakibatkan tanah Papua menjadi arena pertarungan terus-menerus untuk memperebutkan kue ekonomi atau politik di antara sejumlah kelompok di dalam negara. Kelompok kepentingan itu mulai dari level pusat hingga lokal, korporasi besar, serta kelompok-kelompok kepentingan lain.

Dalam konteks inilah persoalan keamanan dan kesejahteraan masyarakat Papua seharusnya diletakkan. Jika corak hubungan eksploitatif tersebut tak diubah, bara api dalam sekam dikhawatirkan akan mudah tersulut dan menyala-nyala seperti terjadi selama ini.

Makin Tidak Percaya

Memanasnya situasi Papua akhir-akhir ini karena masyarakat Papua makin tidak percaya dan marah terhadap pemerintah. Kondisi itu dipicu absennya peran pemerintah memberikan pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, sosial, perekonomian, dan rasa keadilan.

”Masyarakat makin tidak percaya dan marah karena kebutuhan dasar tidak terpenuhi,” ujar John Jonga, pegiat hak asasi manusia dan aktivis Jaringan Damai Papua, di Jayapura, Papua, pekan lalu.

John Jonga menuturkan, di pedalaman, pelayanan dasar bagi masyarakat di bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan tidak berjalan. Pimpinan daerah lebih sering meninggalkan daerahnya sehingga peran pemerintah tidak terasa. Padahal, kondisi Papua yang tertinggal membutuhkan pelayanan pemerintah secara ekstra.

”Walaupun aturan otonomi khusus sudah kuat, dalam implementasinya bisa dibilang gagal. Aparatur tidak siap, belum mampu, acuh tak acuh. Itu semakin menambah kebencian dan kemarahan rakyat kepada pemerintah,” ujarnya.

Kebijakan afirmatif bagi masyarakat asli hingga kini hanya wacana. Perlindungan dan pemberdayaan masyarakat asli di banyak kampung pedalaman tidak ada. Ini menjadi ironi karena bupati/wakil bupati telah dijabat orang asli Papua.

Wakil Ketua DPR Papua Komaruddin Watubun mengatakan, kebijakan afirmatif bagi masyarakat asli Papua memang belum berjalan semestinya. Sejauh ini baru bidang politik, yakni jabatan gubernur/wakil gubernur, wali kota, dan bupati, yang dikhususkan bagi orang asli Papua. Ini pun tidak menyelesaikan persoalan karena dalam pelaksanaan kebijakan belum tampak keberpihakannya.

Untuk membangun proses dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan Papua, Komaruddin mengusulkan dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua. Pembentukan KKR ini telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. ”KKR ini adalah dasar dialog untuk menuju rekonsiliasi,” katanya.

Minggu lalu, Bareskrim Polri dan Polda Papua merekonstruksi penembakan warga Jerman, Pieter Dietmar Helmut, di pantai wisata Base G, Jayapura. Reka ulang itu menghadirkan CW, salah seorang tersangka. Terkait kasus penembakan itu, Polda Papua telah menahan tiga tersangka, yakni CW, JW, dan BT.

”Yang lain masih dalam pengejaran,” ungkap Brigadir Jenderal (Pol) Paulus Waterpauw, Wakil Kepala Polda Papua.

Mahasiswa tuntut dialog

Sementara itu, dalam unjuk rasa di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, pekan lalu, mahasiswa Papua di Surabaya mendesak pemerintah mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua. Pemerintah diminta membuka dialog untuk mendengar aspirasi warga Papua.

Wilson, salah seorang koordinator mahasiswa Papua, mengatakan, sejumlah kasus penembakan misterius akhir-akhir ini tampak tidak diusut dengan tuntas. Warga Papua justru dijadikan kambing hitam dalam kasus-kasus tersebut. ”Masyarakat Papua saat ini dibuat tidak nyaman dan merasa takut di kampung sendiri. Kami mahasiswa Papua di luar Papua juga khawatir,” ujarnya.

Dalam unjuk rasa itu, mereka membagikan daftar kekerasan di Papua yang terjadi sejak 1 Mei 2012. Mereka mendata sedikitnya ada 22 kasus kekerasan yang terjadi di sejumlah distrik di Papua. Mereka menuntut pemerintah bertanggung jawab.