Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (PHPU-D) seringkali dipertanyakan dan meninggalkan dilemma. Putusan-putusan MK itu dianggap telah menganulir prinsip kedaulatan pemilih dan menafikan keterpilihan calon kepala daerah. Meskipun demikian, putusan MK mengenai hasil Pemilukada dan perintah pemungutan suara ulang itu bukannya tanpa alasan, karena sulit dipungkiri bahwa fenomena Pemilukada di era reformasi seperti sekarang banyak terdapat pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif.
Bentuk pelanggaran ini merupakan ancaman terhadap kedaulatan rakyat. Pilihan rakyat dalam pemilu seringkali terabaikan karena cara-cara yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif. Pelanggaran seperti ini memang sulit tersentuh dan bahkan luput dari jerat penegakan hukum selama proses penyelenggaraan pemilu berlangsung. Proses penegakan terhadap pelanggaran pidana pemilu, administrasi pemilu, kode etik penyelenggara pemilu dan sengketa pemilu tidak mampu menjangkaunya.
Berangkat pada titik itulah kiranya buku yang berjudul “Mahkamah Konstitusi bukan Mahkamah Kalkulator” ini mempunyai kontribusi penting dalam diskursus akademik hukum ketatanegaraan kontemporer. Karena buku ini mengulas secara mendalam latar belakang dan argumentasi hukum di balik putusan-putusan MK terkait PHPU-D sepanjang tahun 2008 – 2011, baik: ruang lingkup kewenangan; bentuk-bentuk pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif yang menjadi dasar putusan; serta perkembangannya.
Progresivitas MK tersebut memang patut diapresiasi dalam rangka menegakkan konstitusi. MK telah menjalankan tugasnya, tidak hanya menegakkan konstitusi (the guardian of the constitution) namun juga demokrasi (the guardian of the democration). Meski demikian, MK juga sering dinilai kebablasan dalam menegakkan kedaulatan rakyat. Berangkat dari niat menegakkan kedaulatan rakyat justru terjebak pada konflik kepentingan di dalamnya. Konsistensi dalam memaknai menjaga kedaulatan rakyat tidak jarang kebablasan karena ukuran-ukuran tentang itu belum disepakati dan cenderung diserahkan pada subjektivitas hakim yang mengadili.
Berdasarkan hal itu maka buku ini telah menyajikan pemetaan awal untuk merumuskan bentuk-bentuk pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif. Peta awal ini akan berguna bagi pembentuk undang-undang untuk memberikan rambu-rambu dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada di MK. Pada akhirnya, kelemahan atas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MK bisa tertutupi tanpa harus berfikir untuk mencabut wewenangannya. Bahasan buku ini tidak hanya menjadi rekomendasi bagi pembentuk undang-undang, kebutuhan empirik bagi praktisi, namun juga menarik menjadi kajian akademik mengingat belum banyak literatur terkait kewenangan MK satu ini.
Rekomendasi di dalam buku ini merupakan refleksi penulis dalam memantau, mengamati dan menganalisis pelaksanaan wewenang MK dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada (2008-2011).
Buku ini dapat diperoleh di toko buku Gramedia terdekat dengan harga Rp. 50.000.