• Post author:
  • Post published:February 3, 2014
  • Post category:Artikel
  • Reading time:4 mins read

Oleh:

Didik Supriyanto

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Mahkamah Konstitusi akhirnya membuat keputusan bersejarah. Mulai Pemilu 2019, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan serentak. Namun, sejauh ini masih ada kesalahpahaman terkait konsep pelaksanaan pemilu serentak tersebut.

Secara konsep, pemilu serentak merupakan penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari-H pemilihan (Lijphart: 1992, Linz and Valenzuela: 1994, Payne: 2002, Cheibub: 2007). Jadi, kalau pemilu legislatif saja, atau pemilu eksekutif saja, lalu digabungkan pelaksanaannya, tidak tepat disebut pemilu serentak. Itu sebabnya, pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, atau pemilu legislatif tidak disebut pemilu serentak. Rencana penggabungan pilkada dalam satu hari-H pemilihan tentunya juga tak tepat disebut pemilu serentak.

Konsep pemilu serentak hanya dikenal di negara-negara pengguna sistem presidensial. Sebab, di sini anggota legislatif dan pejabat eksekutif sama-sama dipilih melalui pemilu. Berbeda dengan penganut sistem parlementer, di mana hanya dibutuhkan satu pemilu parlemen, selanjutnya parlemen mengangkat perdana menteri dan kabinet.

Salah paham kedua yang menjangkiti para perancang undang-undang, yang kemudian diamini para pengamat pemilu, adalah obsesi untuk menjadikan pemilu serentak sekadar cara menghemat biaya. Soal ini tidak perlu diperdebatkan sebab 65 persen biaya pemilu untuk membayar honor petugas. Padahal, para petugas itu dibayar berdasarkan event pemilu, bukan berdasarkan volume pekerjaan.

Saat ini dalam kurun lima tahun bisa digelar tujuh event pemilu:  legislatif, presiden putaran pertama, presiden putaran kedua, gubernur putaran pertama, gubernur putaran kedua,  bupati/wali kota putaran pertama, dan  bupati/wali kota putaran kedua. Itu artinya honor petugas harus dibayarkan tujuh kali meskipun beban pekerjaan masing-masing pemilu berbeda. Jelas sekali, kalau pemilu-pemilu itu digabungkan jadi satu atau dua maka akan terjadi penghematan luar biasa.

Menghemat biaya bukanlah tujuan utama pemilu serentak. Tujuan pemilu serentak adalah untuk menciptakan pemerintahan kongruen, di mana pejabat eksekutif terpilih mendapat sokongan mayoritas legislatif agar pemerintahan kuat dan efektif. Di sinilah pemilu serentak memanfaatkan coattail effect demi mengejar efektivitas pemerintahan sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.

Lebih jelasnya, dalam pemilu serentak, kemenangan calon pejabat eksekutif dari Partai A cenderung diikuti perolehan kursi mayoritas parlemen oleh Partai A atau koalisi yang di dalamnya terdapat Partai A. Coattail effect ini terjadi karena pemilih ataupun partai berpandangan sama: jabatan eksekutif lebih penting daripada legislatif. Inilah yang mendorong partai-partai membangun koalisi jauh hari sebelum pemilu.

Dalam jangka pendek, pemilu serentak—di satu pihak—menciptakan koalisi pemerintahan solid karena proses pembentukannya lama dan matang; di lain pihak, koalisi yang kalah memperebutkan kursi presiden terpaksa menjadi oposisi. Bandingkan dengan proses pembentukan koalisi saat ini, di mana semua partai menunggu hasil pemilu legislatif, yang jaraknya hanya satu bulan dari jadwal pencalonan presiden.

Dalam jangka panjang, pemilu serentak dapat menyederhanakan sistem kepartaian karena koalisi—baik yang menang maupun yang kalah—cenderung bertahan. Tentu ada partai yang berubah kawan koalisi, tapi perilaku ini hanya pinggiran. Partai-partai utama cenderung dalam posisi sama dalam berkoalisi. Selain itu, coattail effect juga cenderung menggerus partai yang tak pernah punya calon presiden hebat.

Sejak 2006, saat pemerintah menyusun draf RUU Pemilu, saya bersama Prof Ramlan Surbakti, Prof Syamsuddin Haris, dan Pipit Kartawijaya mengusulkan model pemilu nasional (memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden) dan pemilu daerah (memilih DPRD dan kepala daerah). Kelebihan model ini adalah kemampuannya dalam menciptakan pemerintahan kongruen secara horizontal (hubungan legislatif-eksekutif) sehingga terbentuk pemerintahan kuat dan efektif. []