• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:8 mins read

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)

Jakarta | Rabu, 23 Desember 2015

Dari 264 daerah yang melangsungkan pilkada serentak 2015, terdapat 151 daerah yang diikuti oleh calon kepala daerah yang kembali mencalonkan untuk kedua kalinya atau yang lebih dikenal dengan istialah petahana/incumbent. Mulai dari kembali mencalonkan dengan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sama (tetap kongsi) sampai dengan kembali mencalonkan dengan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berbeda (pecah kongsi).

Munculnya calon petahana dalam pilkada serentak 2015 menarik untuk dilihat lebih jauh keberadaanya. Dari aspek keterpilihan petahana misalnya, terdapat peluang dan strategi pemenangan yang tentunya berbeda antara kandidat baru dengan kandidat petahana. Pertama, jika ditinjau dari segi popularitas keberadaan calon petahana dalam pilkada tentunya jauh lebih dikenal dibandingkan dengan calon baru. Hal ini karena selama lima tahun sebelumnya pemilih sudah cukup mengenal sosok kepala daerah yang memimpin daerahnya, termasuk kinerja, kebijakan publik, sampai dengan program-program yang diimplementasikan. Kedua, dari segi strategi pemenangan (kampanye), munculnya calon petahana dalam pemilu sering kali dianggap mampu menciptakan persaingan yang tidak setara dengan kandidat baru. Adanya akses sumber daya yang dimiliki oleh petahana terhadap birokrasi bahkan finansial melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sering kali dimanfaatkan oleh patahana untuk kembali membuka ruang keterpilihan dalam pemilu. Sehingga tujuan dasar dari pilkada serentak untuk menciptakan equal playing battle field menjadi sulit untuk dicapai. Meskipun pada realitasnya keterpilihan petahana sangat tergantung pada preferensi dan perilaku pemilih masyarakat.

Terlepas dari adanya ruang lebih yang dimiliki oleh petahana untuk meraih suara terbanyak, hal menarik selanjutnya yang patut dilihat dari tingkat keterpilihan petahana ialah sejauh mana seorang petahana mempersiapkan pemerintahannya selama lima tahun kedepan. Maksudnya ialah, apakah koalisi partai politik pendukung pemerintahan petahana terpilih mampu meraih kursi mayoritas parleman mampu mendukung kebijakan serta program yang sudah direncankan. Mengingat, tidak sedikit dari sistem kepartian di parlemen daerah yang cenderung terfragmantasi dengan indeks effective number of parliamentary parties (indeks ENPP) yang cukup tinggi dan tentunya dapat menyulitkan petahana dalam memproduksi kebijakan.

Berangkat dari hal tersebut Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melakukan penelitian singkat dengan memanfatkan hasil pindai C1 yang diunduh oleh KPU melalui aplikasi situng (sistem hitung), dengan tujuan untuk mengelaborasi lebih jauh tingkat keterpilihan petahana yang dikorelasikan dengan koalisi yang dibangun serta besaran indeks ENPP di parleman daerah tersebut. Namun demikian, dari 151 daerah terdapat tujuh daerah yang masih kosong karena belum melakukan upload C1, sehingga hanya terdapat 144 daerah yang memiliki petahana untuk ditelaah lebih jauh keberadaanya.

Tingkat Keterpilihan Petahana

Berdasarkan hasil pemantauan akhir yang dilakukan melalui laman pilkada2015.kpu.go.id pada tanggal 21 Desember 2015. Dari 144 daerah yang ada, petahana masih mendominasi kemenangan di 96 daerah dan mengalami kekalahan di 48 daerah. Dari 96 daerah yang dimenangkan oleh petahana, 21 daerah dimenangkan oleh petahana dengan kongsi tetap dan 5 daerah dengan calon petahana dengan kongsi tetap mengalami kekalahan. Selain itu, di 22 daerah dengan petahana yang pecah kongsi, 14 daerah diantaranya dimenangkan oleh mantan wakil kepala daerah. Sedangkan 8 daerah lainnya dimenangkan oleh kepala daerah sebelumnya dengan pasangan calon wakil kepala daerah baru.

Jika ditinjau dari temuan ini, masih didominasinya kemanangan kepala daerah oleh petahana, secara sederhana dapat diartikan bahwa pemilih masih menghendaki kepala daerah tersebut untuk kembali memimpin daerahnya. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa, kembali terpilihnya petahana oleh pemilih merupakan bentuk penghargaan dari pemilih kepada petahana yang telah bekerja dan menghasilkan kebijakan serta program-progam yang dapat dirasakan langsung oleh pemilih di daerah pada periode sebelumnya.
Keberadaan penghargaan atau reward merupakan salah satu mekanisme evaluasi pemilih terhadap petahana yang dimiliki oleh perilaku pemilih rasional (rational choice) dengan cara memberikan suaranya kembali pada petahan tersebut. Di lain piihak, seorang pemilih dapat memberikan hukuman punsihment terhadap petahana yang dianggap tidak memberikan dampak yang cukup siginfikan terhadap dirinya dan daerahnya pada lima tahun kepemimpinannya. Dengan cara tidak memberikan suaranya kepada calon petahana tersebut.

Adanya kemampuan evaluasi terhadap calon petahana memang menjadi ciri khas dasar dari perilaku pemilih rasional sebelum menentukan pilihannya. Anthony Dawns menjelaskan secara lebih sepesifik bahwa seorang pemilih rasional akan mempersepsikan keadaan ekonomi (egosentrik) dirinya dibawah pemerentihan (partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding sebelumnya (retrospektif), dan yang akan datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas keadaan ekonomi nasional/lokal (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun sebelumnya (retrospektif), dan keadaan ekonomi nasional/lokal di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun-tahun yang akan datang (prospektif) (Dawns 1956; Wheaterford & Kiewiet 1980; Fiorina 1981; Lewis-Beck 1998; dalam Munjani, Liddle, & Ambardi 2012: 33).

Dengan skema perilaku pemilih rasional demikian, maka dapat dikatakan 96 daerah yang dimenangkan oleh petahana mendapatkan penghargaan sekaligus kepercayaan oleh pemilih, untuk kembali menghasilkan kerja-kerja yang mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat didaerahnya baik dalam bidang ekonomi maupun lainnya. Meskipun, perlu ada penelitian lebih mendalam terkait latar belakang apa yang menyebabkan pemilih kembali memilih petahana, apakah betul-betul berbasisikan pada kinerja dan capaian yang dilakukan oleh petahana selama lima tahun sebelumnya. Atau, hanya berbasiskan pada strategi pemenangan yang dilakukan oleh petahana dalam masa kampanye.

Pemerintahan Hasil Pemilu

Dengan adanya kepercayaan yang kembali diberikan oleh pemilih terhadap petahana di 96 daerah untuk kembali menjalannkan roda pemerintahan di daerahnya. Tentunya menjadi beban tersendiri bagi setiap petahana terpilih untuk menjalankan amanah sekaligus mewujudkan ekspektasi-ekspekatasi pemilih terhadap daerahnya dibawah kepemimpinan seorang petahana melalui program dan kebijkan publik yang dihasilkan kelak. Akan tetapi pada realitasnya, proses pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan publik tidak hanya dititik-beratkan pada eksekutif semata. Melainkan, terdapat peranan legislatif dalam hal ini DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang memiliki fungsi untuk memberikan persetujuan terhadap kebijakan publik yang akan diimplementasikan oleh kepala daerah. Sebagai contoh, meskipun APBD diusulkan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah akan tetapi persetujuan berada ditangan DPRD. Dari sinilah kemudian seorang petahana terpilih harus mampu meraih dukungan mayoritas partai politik di DPRD.

Pada sisi lain, karena sistem multipartai menjadi suatu keniscayaan bagi Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas masyarakat yang cukup tinggi. Maka tantangan fragmantasi serta polarisasi di parlemen menjadi sebuah hal yang mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap kepala daerah terpilih. Satori (1976) melihat terdapat dua bentuk sistem multipartai yakni multipartai moderat dengan 3-5 partai politik relevan yang tingkat polarisasi lebih terbatas dan multipartai ekstrim yang terdapat lebih dari 5 partai politik relevan dengan tingkat polarisasi dan fragmantasi tinggi.
Secara lebih jauh Lakso dan Taagepara (1979) memformulasikan indeks ENPP untuk mengukur seberapa jauh tingkat polraisasi dan fragmantasi parlemen, dengan logika semakin besar indeks ENPP maka semakin terfragmantasi dan tidak efektif dalam mengambil keputusan. Sedangkan semakin kecil indeks ENPP maka semakin efektif dan mudah mengambil keputusan.
Berdasarkan penghitungan indeks ENPP di 31 daerah petahana yang dipilih secara acak dengan mengambil sempel satu sampai dua daerah di setiap provinsi menunjukan tinggnya fragmantasi politik diparlemen dengan rata-rata indeks ENPP sebesar 7.4 (lihat lampiran) atau terdapat 7 partai politik yang memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Selain itu koalisi yang dibangun oleh petahana sebagian besar menunjukan tidak mampu meraih suara mayoritas kursi di parlemen. Kondisi inilah yang kemudian akan menyulitkan petahana untuk mengambil keputusan.

Sebagai contoh Zumi Zola dan Fachrori Umar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur petahana yang pecah kongsi, berhasil meraih suara terbanyak dalam pilkada Provinsi Jambi dengan empat partai pengusung Nasdem, PKB, PAN, dan Hanura yang hanya memperoleh dukungan 17 kursi dari total 55 kursi DPRD Provinsi. Di lain pihak, ia harus menghadapi indeks ENPP sebesar 9.0 yang cenderung terfragmanatasi. Hal serupa dirasakan pula oleh Tri Risma dan Wisnu di Kota Surabaya yang memperoleh suara lebih dari 80% suara dengan partai pengusung tunggal yakni PDIP dengan perolehan kursi DPRD Kota sebanyak 13 dari total 50 kursi yang ada. Padahal terdapat 7 (indeks ENPP 7.0) partai politik yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di DPRD.

Namun demikian bukan berarti dengan tingginya indeks ENPP dan lemahnya dukungan partai politik di DPRD terhadap petahana dapat sepenuhnya berdampak pada deadlock. Akan tetapi, jika dikontekstualiskan dengan kondisi sistem kepartaian dan karakter partai di Indonesia. Koalisi yang terjadi antar partai politik cenderung cair dan sebagian besar terjadi di saat proses pemerintahan itu sudah berlangsung. Di samping, itu aspek-aspek transaksional sering kali dimanfaatkan sebagai pelicin untuk memuluskan program dan kebijakan publik yang ditawarkan oleh pemerintah ketika menghadapi resistensi parlemen. Studi yang dilakukan oleh Dodi Ambardi (2009) misalnya, berhasil melihat adanya sistem kepartaian di Indonesia yang terkartelisasi dimana pada saat pemilu cenderung bersaing, tetapi pasca pemilu cenderung bekerjasama untuk memuluskan kepentingan bersama. Praktek-praktek transaksional inilah yang kemudian patut dihindari ditengah tingginya fragmantasi politik di parlemen. Untuk itu disain waktu penyelenggaran pemilu serentak lokal yang terdiri dari pemilu kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dengan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan secara bersama. Dengan tujuan terciptanya koalisi yang dibangun sejak dini.

Contact Person:
Heroik Pratama (087839377707)
Fadli Ramadhanil (085272079894