• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:7 mins read

Perludem, ICW, JPPR, Kode Inisiatif, IPC, LIMA

Proses revisi UU 8/2015 tentang pemilihan umum kepala daerah, sedang dipersiapkan oleh pemerintah dan DPR menjelang penyelenggaran pilkada serentak gelombang ke dua pada tahun 2017 yang akan diselenggarakan di 101 daerah. Merujuk pada pilkada serentak 2015 yang masih memilki beberapa catatan persoalan mulai dari anggaran, pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, ambang batas pencalonan, mekanisme kampanye, sampai dengan sengketa pencalonan dan sengketa hasil pemilu. Revisi UU Pilkada menjadi suatu keniscayaan dan mendesak untuk dilakukan.

Namun demikian, menjelang proses pembahasan tersebut salah satu isu krusial yang mencolok ialah adanya wacana untuk meningkatkan ambang batas pencalonan atau syarat dukungan bagi bakal calon kepala daerah yang maju melalui jalur perseorangan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan catatan persoalan hasil eveluasi penyelenggaran Pilkada 2015 lalu.

Munculnya fenomena “Calon Tunggal” dibeberapa daerah disinyalir karena meningkatnya syarat dukungan bagi calon persorangan untuk ikut berpartisipasi dalam bursa pemilihan kepala daerah. Berdasarakn UU 8/2015 Pasal 41 ayat 1 dan 2, setiap calon persorangan yang hendak mendaftarakan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota harus membuktikan dukungan masyarakat didaerahnya dengan mengumpulkan KTP yang jumlahnya 6,5% sampai dengan 10% sesuai dengan jumlah penduduk di masing-masing daerah dan tersebar di 50% kabupaten/kota bagi pilgub dan 50% kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

Aturan ini tentunya sangat menyulitkan bagi individual masyarakat yang hendak maju melalui jalur perseorangan dibandingkan dengan mencalonkan diri melalui jalur partai politik. Hal ini karena, calon perseorangan tidak memiliki struktur dukungan politik yang terlembagakan layaknya partai politik di level kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa. Kedua, partai politik dalam pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Ketiga, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak (mereka bisa mengusung 3-12 calon per dapil) pada masa pemilu legislatif, dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.

Ditengah tingginya ambang batas dukungan pencalonan bagi perseorangan tersebut, muncul gugatan kepada Mahakamah Konstitusi yang kemudian dikabulkan dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 dan merubah basis data dukungan yang semula dari jumlah penduduk menjadi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu terakhir. Dalam putusanya Mahkamah berpendapat:

Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 sekalipun memberikan kepastian hukum, namun mengabaikan keadilan sehingga dapat menghambat pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum, sebab, persentase dukungan yang dipersyaratkan bagi warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah didasarkan atas jumlah penduduk, padahal tidak setiap penduduk serta-merta memiliki hak pilih(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12135)

Keberadaan putusan tersebut setidaknya mampu meminimalisir adanya ketidaksetaraan syarat pencalonan bagi calon kepala daerah yang maju melalui perseorangan dengan partai politik. Bagi partai politik atau gabungan partai yang akan mencalonkan dikenakan syarat jumlah perolehan kursi DPRD sebanyak 20% atau 25% dari jumlah suara sah hasil pemilu, bukan jumlah penduduk layaknya calon perseorangan. Dengan kata lain, putusan tersebut dapat kita maknai sebagai sarana untuk menciptakan ruang persaingan yang setara (equal playing battle field) antara calon kepala daerah perseorangan dan partai politik, dengan memberikan kemudahan bagi calon perseorangan untuk mencalonkan. Sebagai contoh kemuduhan syarat dukungan ini bagi calon perseorangan untuk mencalonkan dapat dilihat dari enam provinsi yang melangsungkan Pilkada 2015 hasil simulasi berikut:

Tabel perbandingan syarat dukungan berdasarkan jumlah penduduk dan DPT terakhir pemilu

Provinsi Jumlah penduduk Jumlah

DPT

Syarat dukungan Jumlah dukungan KTP berdasarkan data penduduk Jumlah dukungan KTP berdasarkan DPT
Bengkulu 1,713,393 1,379,067 10% 171,339 137,907
Sumatera Barat 4,845,998 3,611,551 8,5% 411,910 306,982
Jambi 3,088,618 2,480,927 8,5% 262,533 210,879
Sulawesi Tengah 2,633,420 1,935,646 8,5% 223,841 164,530
Kepulauan Riau 1,685,698 1,323,627 10% 168,570 132,363
Kalimantan Selatan 3,626,119 2,820,304 8,5% 308,220 239,726
Sulawesi Utara 2,265,937 1,887,055 8,5% 192,605 160,400

Sumber: hasil simulasi syarat perseorangan

Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat perbandingannya, jika merujuk pada data kependudukan yang tertuang pada UU 8/2015 Provinsi Sumatera Barat misalnya, setiap calon perseorangan harus mengumpulkan 411,910 dukungan. Tetapi pasca adanya putusan MK yang mengeser basis data dukungan ke DPT pemilu terakhir, maka bagi calon perseorangan yang akan ikut berpartisipasi dalam pilkada serentak di Sumatera Barat mengalami pengurangan syarat dukungan sebanyak 104,982 atau harus mengumpulkan dukungan KTP sebanyak 306,982.

Meski MK telah memutuskan perubahan basis data dukungan dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih, pada realitasnya menjelang pilkada 2017 wacana peningkatan besaran ambang batas bagi calon perseorangan justru menguat yang tentunya akan kembali mendorong adanya ketidaksetaraan proses pencalonan dan mungkin saja akan kembali memicu hadirnya calon tunggal. Untuk itu paling tidak terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan dan DPR RI khususnya Komisi II dalam melakukan revisi UU 8/2015 antara lain:

  1. Meningkatkan syarat dukungan bagi calon perseorangan dalam pilkada serentak akan kembali memicu munculnya persoalan calon tunggal dan membuat arena persaingan dalam pilkada menjadi tidak setara.
  2. Dalam rangka meminimalisir munculnya persoalan calon tunggal serta menciptakan ruang persaingan yang setara, maka besaran ambang batas syarat dukungan bagi calon perseorangan sudah sepatutnya diturunkan dari 6,5% sampai dengan 10% menjadi 2% sampai dengan 5%
  3. Menghilangkan syarat kursi 20% atau 25% suara hasil pemilu bagi partai politik yang ikut ambil bagian dari munculnya fenomena calon tunggal karena memicu praktek “jual-beli” kursi dukungan partai sehingga menyulitkan kandidat dari partai politik dalam mencalonkan. Selain itu ketentuan ambang batas ini tidak sesuai dengan semangat pemilu serentak 2019 “concurrent elections” yang memberikan ruang persaingan yang setara dalam rangka menegaskan dan menciptkan efektivitas pemerintahan presidensialisme.
  4. Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus pada revisi substansial dari UU Pilkada dalam rangka menguatkan kualitas calon, kualitas partisipasi, dan juga kualitas representasi kepala daerah. Sebagai contoh keberadaan politik uang yang ketentuan larangannya ada akan tetapi tidak memiliki ketentuan sanksi. Secara lebih detail fokus revisi substansial dari UU Pilkada dapat dilihat dalam lampiran.

Contact Person:

(IPC)

Erik Kurniyawan 081932930908

(Kode Inisiatif)

Veri Junaidi 085263006929

(JPPR)

Maskurrudin 0811100195

(LIMA)

Ray Rangkuti 08161440763

(ICW)

Donald Fariz 085263728616

(Perludem)

Fadli Ramadhanil 085272079894

Khoirunnisa 08170021868

Heroik Pratama 087839377707