Wacana peningkatan syarat jumlah dukungan calon perseorangan menguat di tengah persiapan proses pembahasan revisi undang-undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada).
Tidak sebandingnya syarat calon perseorangan dengan partai politik menjadi argumentasi dasar yang melatarbelakangi wacana tersebut. Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8/2015, mewajibkan setiap calon perseorangan untuk membuktikan dukungan masyarakat sebanyak 6,5% sampai 10% sesuai dengan jumlah penduduk dalam satu provinsi, kabupaten, atau kota.
Namun setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No 60/PUU-XIII/ 2015, jumlah dukungan beralih dari data penduduk menjadi jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir. Sedangkan bagi partai politik atau gabungan partai politik, dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah jika memiliki kursi sebanyak 20% dari jumlah kursi DPRD atau memiliki perolehan suara sebanyak 25% dari hasil pemilu DPRD (UU Nomor 8/2015 Pasal 40 ayat 1).
Dengan kata lain, jika partai politik tidak memiliki kursi sebanyak 20% tetapi ingin mengajukan pasangan calon kepala daerah, maka partai politik tersebut dapat membangun koalisi pencalonan dengan partai politik lainnya untuk memenuhi ambang batas pencalonan.
Dengan demikian, apakah mengumpulkan dukungan KTP penduduk yang jumlahnya disesuaikan dengan DPT terakhir pemilulebihmudahdari pada membangun komunikasi politik dengan partai politik lain untuk membangunkoalisipencalonan?
Opini lainnya: Reformasi Keuangan Partai oleh Heroik Mutaqin Pratama […]
Tidak Setara
Jika dibandingkan, syarat pencalonan perseorangan jauh lebih sulit dan tidak setara dengan syarat pencalonan partai politik. Hal ini karena terdapat tiga situasi yang berbeda. Pertama, calon perseorangan tidak memiliki struktur organisasi yang terlembagakan di level kabupaten/ kota, kecamatan, sampai dengan desa.
Karena itu untuk mendaftar, calon perseorangan perlu membangun struktur dukungan politik dalam waktu yang terbatas untuk mengumpulkan sejumlah dukungan masyarakat yang belum tentu setiap orang dapat dengan mudah memberikan identitas kependudukannya sebagai wujud dukungan terhadap calon perseorangan. Berbeda halnya dengan partai politik.
Struktur pengorganisasian partai lebih terlembagakan, yang keberadaannya tidak hanya pada saat pemilu diselenggarakan saja. Mulai dari pengurus di level kabupaten/ kota yang dikenaldenganistilahDewanPimpinan Wilayah (DPW), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sesuai dengan penamaan partai politik masing-masing.
Kemudian pengurus di level kecamatan yang sering disebut dengan Partai Anak Cabang (PAC) sampai dengan pengurus tingkat desa atau ranting. Karena itu calon kepala daerah yang berasal dari partai politik dapat memanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan pemenangannya. Kedua, partai politik bergerak dengan struktur calon yang banyak, yakni 3-10 calon per daerah, pemilihan pada pemilu legislatif yang dapat dimanfaatkan keberadaannya.
Opini lainnya: Ihwal Sistem Pemilu […]
Partai politik juga akan memperoleh bantuan keuangan negara setelah mereka terpilih. Adapun calon perseorangan hanya mengandalkan sumber daya individual dalam pencalonannya. Ketiga, dalam proses perumusan kebijakan publik, calon kepala daerah terpilih yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dapat memperoleh dukungan dari anggota DPRD yang berasal dari partai politik pengusung sehingga akan dengan mudah menghasilkan kebijakan publik yang membutuhkan persetujuan DPRD.
Adapun bagi kepala daerah terpilih melalui jalur perseorangan tanpa dukungan partai politik, situasi ini saja jauh lebih sulit dalam menghasilkan kebijakan publik. Seperti misalnya peraturan daerah (perda), penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang mengharuskan kepala daerah terpilih membahas bersamasama dengan DPRD sesuai dengan UU Nomor. 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Menyetarakan Pencalonan
Untuk itu, meningkatkan ambang batas dukungan bagi calon perseorangan bukanlah cara yang tepat dalam menciptakan ruang pencalonan yang setara. Alih-alih membuat syarat pencalonan yang setara, peningkatan syarat dukungan publik terhadap perseorangan secara tidak langsung akan membatasi ruang partisipasi calon perseorangan dalam pilkada.
Tentu hal ini dapat kembali membuka ruang munculnya calon tunggal akibat sulitnya memenuhi syarat pencalonan sebagai calon kepala daerah perseorangan. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah dengan menurunkan besaran ambang batas pencalonan perseorangan dari 6,5- 10% menjadi 2-5% berdasarkan DPT terakhir dalam satu daerah.
Angka ini tentu dapat mempermudah pencalonan kepala daerah melalui jalur perseorangan, tanpa mengurangi esensi dasar ambang batas pencalonan sebagai sarana mengukur tingkat legitimasi masyarakat terhadap calon perseorangan. Begitu pula dengan ketentuan 20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara terakhir bagi partai politik untuk mencalonkan sebagai kepala daerah, lebih baik dihilangkan.
Karena hal itu akan memicu praktik ”jual-beli” kursi dukungan partai, yang menyulitkan pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik. Ketentuan ambang batas pencalonan partai tidak sesuai dengan semangat pemilu serentak tahun 2019, yaitu concurrent elections.
Semangat itu memberikan ruang persaingan yang setara bagi setiap partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden tanpa harus mempertimbangkan besaran kursi di DPR. Di samping itu, ketentuan ambang batas pencalonan tersebut tidak relevan bagi partai politik yang sebetulnya sudah terverifikasi sebagai peserta pemilu pada pemilu legislatif sebelumnya sehingga partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon kepala daerah hanya diwajibkan memiliki kursi DPRD di daerah terkait. []
HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
8 April 2016