• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:6 mins read

Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah untuk penyelenggaraan Pilkada 2017 lepas dari konsep pemilu serentak. Ini berarti, para pemangku kepentingan mengulang kesalahan saat UU Pilkada langsung dirumuskan untuk mengganti UU Pilkada tak langsung.

Keserentakan dimaknai penyelenggaraan bersamaan saja. Padahal, tujuan prinsipil pilkada serentak adalah menyamakan periode jabatan kepala daerah sehingga sesuai dengan pemilu serentak nasional sebagai bagian penguatan pemerintahan presidensial yang efektif.

Pemilu serentak adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan, khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran, melainkan juga untuk menciptakan pemerintahan kongruen atau menghindari pemerintahan terbelah (divided government), yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih. Dari pengertian serentak ini, pilkada serentak bukanlah pemilu serentak.

Keluar dari konsep

Pilkada masuk dalam desain pemilu serentak lokal yang coba diupayakan pakar pemilu melalui penyatuan/kodifikasi UU kepemiluan. Pemilu serentak lokal adalah pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan umum (KPU) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota), anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Karena periode kepala daerah dan DPRD saat ini belum sama, maka diperlukan penyelenggaraan pilkada serentak transisi.

Setidaknya ada tiga gambaran revisi UU Pilkada keluar dari konsep pemilu serentak.

Pertama, revisi UU Pilkada terputus dari semangat penyatuan UU kepemiluan untuk pemilu serentak tahun 2019. Kedua, masih ada syarat persentase kepemilikan kursi DPRD bagi partai atau koalisi partai yang bisa mengajukan calon di pilkada. Ketiga, menjadikan syarat persentase kepemilikan kursi DPRD sebagai pembanding syarat calon perseorangan. Merujuk pengertian “pemilu serentak”, syarat persentase kursi parlemen untuk pencalonan eksekutif menjadi tidak relevan.

Kesalahan lain yang terulang adalah dipaksakannya rumusan undang-undang di konteks yang tak kondusif dalam hitungan siklus pemilu. UU Pilkada untuk 2015 lahir dari kelelahan dan sedikit waktu perhatian karena semua pemangku kepentingan pemilu baru terlibat di Pemilu Presiden 2014. Juga sedikit waktu untuk mengevaluasi pemilu sebelumnya dan sedikit waktu perencanaan pemilu selanjutnya. Partisipasi pemilih pun turun karena warga jenuh pemilu. Ditambah lagi oleh situasi polarisasi elite: Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.

Kini, di waktu yang sempit, revisi UU Pilkada malah memprioritaskan kepentingan politik kuasa para elite, yaitu mengubah (memperberat) syarat pencalonan jalur perseorangan, suatu ketentuan yang sebetulnya telah tuntas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Di tengah keadaan tak kondusif ini, hal terpenting yang harus masuk dalam revisi UU Pilkada adalah menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018. Penyerentakan pilkada gelombang kedua dan gelombang ketiga ini setidaknya ada empat tujuan. Pertama, menambah waktu revisi UU Pilkada. Kedua, menentukan waktu pungut-hitung dan tahapan pilkada lainnya yang sesuai siklus anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta cuaca yang kondusif. Ketiga, memberikan jeda kerja penyelenggara. Keempat, menambah rasionalitas dan mengurangi kejenuhan pemilih.

Perbaikan di waktu yang kondusif

Menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018 akan menambah waktu untuk kebutuhan revisi UU Pilkada yang lebih baik. Pemungutan suara dalam Pilkada 2017 yang sudah ditetapkan KPU pada 15 Februari 2017 memaksa revisi tuntas untuk pelaksanaan Pilkada 2017 pada Juni 2016.

Jika Pilkada 2017 dan 2018 diserentakkan sehingga cuma ada satu pilkada sebelum Pemilu 2019, pemungutan suara pilkada bisa diundur menjadi Juli 2017. Tahapan pilkada serentak pun menjadi diundur ke November 2016. Ada tambahan sekitar lima bulan sebagai waktu yang lebih kondusif merevisi UU Pilkada.

Karena waktu revisi saat ini sempit, UU Pilkada direvisi secara terbatas. Padahal, UU Pilkada yang sebelumnya lahir prematur untuk membatalkan UU Pilkada tak langsung ini memiliki banyak keterbatasan. Salah satunya, UU Pilkada pada Pilkada (serentak) 2015 tidak menjamin keserentakan. Ada kemungkinan calon tunggal yang luput diatur, ada dualisme kepengurusan partai yang cara pengusungan calon kepala daerahnya juga luput diatur, serta ada mekanisme penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang berbelit sehingga tak sesuai dengan semangat keserentakan. Alhasil, ada lima daerah yang gagal diserentakkan dan ada banyak daerah yang terseok menyelenggarakan pilkada karena soal anggaran.

Merujuk rancangan revisi versi Kementerian Dalam Negeri, UU Pilkada malah tak membaik. Revisi ini tak memungkinkan mengubah pembiayaan pilkada dari APBD ke APBN. Menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018 yang mengundur waktu pemungutan suara dari Februari 2017 ke Juli 2017 akan sesuai dengan siklus APBN.

UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) untuk penyelenggaraan Pilkada 2015 lalu melanjutkan permasalahan prinsipiil anggaran di pilkada sebelumnya. Pertama, pilkada dibiayai APBD berpotensi buruk dari diskresi petahana yang mencalonkan lagi karena berdiskresi menentukan persetujuan besaran anggaran pilkada daerah yang dipimpinnya. Kedua, pilkada jadi beban pemerintahan daerah yang dirasakan masyarakat karena keterbatasan kemampuan keuangan menyebabkan pengurangan belanja publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Ketiga, sulit menemukan obyektivitas besaran biaya tiap daerah yang faktanya ada daerah berpenduduk/pemilihnya sedikit dibandingkan daerah lain, tapi biaya pilkadanya jauh lebih besar. Keempat, berbeda dan kompleksnya keadaan keuangan tiap daerah lebih berpotensi menggagalkan keserentakan pilkada.

Jika Pilkada 2017 dan 2018 diserentakkan, tujuan efisien pilkada serentak akan tercapai. Ada 101 daerah di Pilkada 2017, tapi hanya ada tujuh provinsi. Sementara di Pilkada 2018, ada 172 daerah, di antaranya 17 provinsi. Jika Pilkada 2017 dan 2018 diserentakkan, maka ada 24 provinsi yang pilkada.

Menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018, serta pengunduran pemungutan suara dari Februari ke Juli 2017, langsung berkait efisien anggaran. Di 24 provinsi jauh bisa lebih banyak mengupayakan penyelenggaraan pilkada pada semua jenjang: provinsi hingga kabupaten/kota. Penggabungan jenjang menjadikan penyelenggaraan pilkada hanya satu kali pendanaan untuk panitia penyelenggara, pengawas, dan pengadaan logistik. Bulan Juli pun merupakan waktu yang kondusif dari aspek cuaca, sosial-budaya, kesiapan partai, dan kesiapan anggaran sehingga kemungkinan kisruh persiapan dan hambatan lebih bisa dihindari. []

USEP HASAN SADIKIN

PENELITI DI PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM)

Kompas, 12 April 2016

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160412kompas/#/6/