• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:7 mins read

Berbagai alternatif pilihan sistem pemilu legislatif tengah dipersiapkan oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menjelang penyusunan Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Pemilu. Mulai sistem pemilu proporsional daftar terbuka (open list), sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list), sampai dengan kombinasi keduanya. Beberapa partai politik pun mulai menunjukkan kecenderungan pilihan sistem pemilu yang akan diusung. PDIP dan PKS, misalnya, sepakat untuk kembali menerapkan sistem pemilu proporsional daftar tertutup, sedangkan Partai NasDem tetap memilih proporsional daftar terbuka sebagai sistem pemilu legislatif 2019 kelak.

Pertanyaannya, mengapa sistem pemilu harus di ubah? Apa yang hendak dicapai dari perubahan sistem pemilu? Pakar kepemiluan Andrew Reynolds (2001) menjelaskan terdapat tiga tujuan utama dari sistem pemilu. Pertama, sebagai alat untuk menyeleksi pengambil keputusan. Ketika jumlah warga negara semakin besar di perlukan individu-individu yang menempati lembaga perwakilan sebagai kepanjangtanganan warga negara untuk mengambil keputusan.

Sistem pemilu hadir sebagai instrumen untuk menerjemahkan pilihanpilihan warga negara di kertas suara menjadi anggota dewan perwakilan rakyat. Kedua, sistem pemilu dapat dijadikan saluran pertanggungjawaban wakil rakyat terhadap rakyatnya atau sebaliknya. Ketika wakil rakyat dirasakan tidak mampu mencerminkan kehendak rakyatnya dalam setiap pengambilan keputusan, sistem pemilu menjadi arena untuk mempertanyakan, mengkritisi, bahkan menghukum wakil rakyat dengan cara tidak memilih kembali wakil tersebut di pemilu berikutnya.

Opini lainnya: Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah oleh Heroik Mutaqin Pratama […]

Pada sisi lain, sistem pemilu dapat dijadikan alat bagi wakil rakyat untuk melaporkan keputusan apa saja yang sudah dibuat, sampai capaian-capaian yang sudah dilakukan selama di lembaga perwakilan, sehingga mampu membuka ruang keterpilihan kembali di pemilu berikutnya. Ketiga, sistem pemilu menjadi arena untuk membatasi wacana politik atau agenda politik ke depan.

Dalam hal ini melalui sistem pemilu, setiap aktor politik yang terlibat mulai pimpinan partai politik sampai kandidat wakil rakyat, dapat menyampaikan agenda politik yang diterjemahkan dalam bentuk program-program yang akan dilangsungkan, jika partai atau kandidat tersebut terpilih sebagai wakil rakyat.

Varian sistem pemilu

Dari tiga tujuan tersebut, masing-masing sistem pemilu memiliki cara dan karakter yang berbeda untuk menerjemahkannya. Secara universal, terdapat empat jenis sistem pemilu yang biasa digunakan di banyak negara: sistem pemilu pluralitas/ mayoritas(plurality/majority), sistem pemilu proporsional (propotional representation), sistem pemilu campuran (mixed), dan sistem pemilu lainnya (others ).

Sistem pemilu pluralitas/ mayoritas dan sistem pemilu proporsional merupakan sistem pemilu yang paling banyak diadopsi oleh berbagai negara. Sistem pemilu pluralitas/mayoritas atau dalam konteks Indonesia, lebih dikenal dengan istilah sistem pemilu distrik memiliki dua karakter dasar. Pertama, dalam satu daerah pemilihan atau dapil (bisa provinsi atau gabungan kabupaten/ kota) hanya terdapat satu kursi lembaga perwakilan yang diperebutkan. Kedua, wakil rakyat yang meraih suara terbanyak merupakan pemenang dan meraih satu kursi lembaga perwakilan (the winner takes all).

Kelebihan dari sistem pemilu pluralitas/mayoritas ialah: Pertama, tingkat kedekatan pemilih dan wakil rakyat sangat tinggi karena dalam satu dapil hanya terdapat satu wakil rakyat terpilih. Kedua, akuntabilitas atau pertanggungjawaban wakil rakyat terhadap rakyatnya terbilang tinggi, karena rakyat diberi kewenangan untuk mengganti wakil tersebut dengan wakil lainnya dalam satu dapil melalui mekanisme recall.

Banyaknya suara yang terbuang akibat peraih suara terbanyak sebagai pemenang dan berhak meraih satu kursi lembaga perwakilan menjadi kekurangan dari sistem pemilu ini. Selain itu, karena hanya kursi yang diperebutkan dalam satu dapil maka hanya partai-partai politik besar saja yang mampu meraih suara terbanyak. Alhasil, sistem pemilu pluralitas/ mayoritas kecende-rungannya menciptakan sistem dua partai, sehingga sistem ini tidak relevan diterapkan di negara dengan tingkat p l u r a l i t a s masyarakat yang cukup tinggi.

Sistem pemilu proporsional hadir sebagai antitesis dari sistem pemilu pluralitas/mayoritas yang menekankan keselarasan melalui prinsip one person, one vote, one value. Ada tiga karakter dasar dari sistem pemilu proporsional. Pertama, terdapat lebih dari satu kursi yang diperebutkan dalam satu dapil. Kedua, jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu dapil dihitung secara berimbang sesuai dengan jumlah penduduk dalam satu dapil.

Ketiga , jumlah kursi yang diperoleh partai politik berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara yang didapatkan. Kelebihannya, sistem pemilu proporsional mampu menghindari suarapemilihyang terbuang secara sia-sia. Bahkan, sistem ini mampu memfasilitasi keanekaragaman masyarakat seperti Indonesia, termasuk kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan, sehingga kecenderungannya sistem ini menghasilkan sistem banyak partai di lembaga perwakilan.

Namun, karena banyak partai itu pula sering k a l i menjadi kelemahan sistem pemilu proporsional karena memicu ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian, kelebihan dan kekurangan sistem pemilu proporsional sangat bergantung pada jenisnya. Terdapat dua jenis sistem pemilu proposional berdasarkan metode pemberian suaranya, yakni sistem pemilu proposional daftar terbuka dan daftar tertutup.

Sistem pemilu proposional daftar terbuka mengharuskan pemilih untuk memilih nama atau foto kandidat yang tersedia di surat suara. Mekanisme ini meminta partai politik untuk menyediakan daftar kandidat wakil rakyat untuk dimasukkan ke dalam surat suara dan kandidat yang meraih suara terbanyak terpilih sebagai wakil rakyat. Kelebihan dari sistem ini ialah adanya kedekatan antara pemilih dengan kandidat, kemudian pemilih bisa memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang disenangi sesuai dengan preferensinya.

Adapun kekurangan dari daftar terbuka ialah mereduksi peran partai politik, terciptanya kontestasi antarkandidat di internal partai, dan membuka ruang politik uang. Adapun sistem pemilu proposional daftar tertutup menginstruksikan pemilih untuk memilih tanda gambar atau lambang partai yang tertera dalam surat suara karena tidak tersedia liskandidat wakil disurat suara. Akan tetapi, partai politik tetap menyediakan daftar nama kandidat wakil rakyat yang diurutkan berdasarkan nomor terkecil hingga terbesar (1,2,3,4,5,6) dengan aturan main nomor urut pertama berhak meraih kursi pertama di lembaga perwakilan.

Kelebihan sistem ini ialah meningkatkan peran partai dan mendorong institusionalisasi partai politik. Tetapi di tengah dominasi peran partai yang meningkat, seringkalisistempemilu daftar tertutup mengondisikan mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup pula, ditambahdenganmenguatnya oligarki di internal partai, serta terbukanya ruang politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut.

Opini lainnya: Reformasi Keuangan Partai oleh Heroik Mutaqin Pratama […]

Akar persoalan

Sistem pemilu proposional daftar terbuka dan daftar tertutup, keduanya pernah Indonesia terapkan dari empat pemilu pascareformasi. Pemilu 1999 hadir di bawah sistem proposional daftar terbuka, kemudian Pemilu 2004 dengan sistem pemilu semiterbuka, serta Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu daftar terbuka.

Kritik tajam banyak dilontarkan dari dua pemilu terakhir yang menerapkan sistem pemilu proposional daftar terbuka. Semakin terbuka dan masifnya praktik politik uang, lemahnya kontrol partai politik terhadap kandidat, tertutupnya akses kader-kader ideologis partai untuk dicalonkan akibat hanya kandidat yang memiliki modal finansialdanpopularitassemata yang memiliki peluang untuk terpilih di tengah aturan suara terbanyak. Hal ini menjadi basis argumentasi yang melatarbelakangi perubahan sistem pemilu proposional daftar terbuka di pemilu berikutnya.

Jika memang demikian persoalannya, apakah mengubah sistem pemilu proporsional daftar terbuka menjadi proporsional daftar tertutup mampu menyelesaikan persoalan? Mengingat dalam sistem pemilu daftar tertutup sekalipun potensi politik uang masih ada, termasuk tertutupnya ruang kader partai politik yang ideologis untuk mencalonkan karena kewenangan pencalonan sepenuhnya berada di elite partai politik.

Dengan demikian, bukankah akar persoalan sebenarnya terletak pada metode pencalonan atau seleksi kandidat di internal partai dan penegakan hukum pemilu, bukan pada jenis sistem pemilu proposional daftar terbuka atau tertutup yang digunakan. []

HEROIK M. PRATAMA

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-09-07