• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

TEMPO.CO, JakartaMahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil atas penghilangan hak pilih bagi pengidap gangguan jiwa atau disabilitas mental. Dalam sidang putusan yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat mengabulkan sebagian permohonan atas pasal 57 ayat 3 huruf a Undang-undang Pemilihan Langsung Kepala Daerah.

“Sepanjang frasa ‘terganggu jiwa/ingatannya’ tidak dimaknai mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih,” kata Hakim Arief, Kamis, 13 Oktober 2016. Pemohon dalam uji materiil ini adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat,  Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Khoirunnisa Nur Agustyati.

Dalam pertimbangannya, Hakim Wahiduddin Adams menjelaskan gangguan jiwa dan ingatan mempunyai karakteristik berbeda dan memiliki turunan beragam. Menurut dia, dua kategori itu beririsan namun tidak bisa disamakan. Oleh sebab itu, tanda baca garis miring di pasal itu harus ditegaskan.

Dari perspektif medis, gangguan dapat dibedakan menjadi bersifat permanen atau kronis dan sementara. Bahkan, terdapat penyandang yang sukses pulih kondisi kejiwaan atau ingatannya nyaris 100 persen dan bisa beraktivitas kembali normal. MK memandang masih ada kerancuan persepsi masyarakat yang harus dibenahi mengenai ragam gangguan jiwa atau ingatan.

Hakim Wahiduddin menambahkan rumusan pasal 57 ayat 3 dianggap menyamakan konsekuensi bagi semua kategori penderita gangguan jiwa atau ingatan. MK berpendapat ketentuan demikian menunjukkan indikasi pelanggaran atas hak konstitusional para pemohon. Padahal ada rentang waktu yang berbeda bagi pemilih yang mengalami gangguan pada saat mendaftar dan mencoblos.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menyambut positif hasil putusan MK. Meski demikian, Perludem, menilai putusan MK setengah hati. Ia berharap majelis membatalkan pasal 57 ayat 3 itu. “Majelis tidak menuntaskan soal menghilangkan stigma kepada pengidap disabilitas mental,” ucapnya.

Senada dengan penjelasan hakim, Fadli berpandangan penderita gangguan jiwa atau ingatan mempunyai peluang untuk pulih. Ia menyebut bisa saja saat ini penderita sedang sakit namun di hari berikutnya sudah sembuh. Oleh sebab itu, Komisi Pemilihan Umum diminta untuk membuat aturan ihwal keputusan MK ini. “Artinya semua warga negara yang memenuhi syarat (sudah 17 tahun atau sudah menikah) mesti didaftar,” kata dia.

Dengan demikian, menurut Fadli, setiap pasien di rumah sakit jiwa bisa masuk dalam daftar pemilih. Alasannya, tidak ada kepastian di hari pencoblosan para penderita tidak bisa memilih. “Apakah mau digunakan haknya (mencoblos) itu soal lain.” Ia menambahkan ketentuan boleh atau tidaknya penderita disabilitas mental akut mencoblos, nantinya harus disertai surat keterangan dari dokter ahli atau spesialis kejiwaan.

ADITYA BUDIMAN

 

https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/14/078812116/penyandang-disabilitas-mental-bisa-mendaftar-pemilu