JAKARTA – Kode Inisiatif dan Perludem me-launching laporan penelitian mengenai penanganan perselisihan hasil Pilkada Serentak tahun 2017 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Perselisihan hasil Pilkada dinilai merupakan satu tahapan yang paling penting dalam pesta demokrasi lima tahunan tiap daerah.
Peneliti Kode Inisiatif Adam Mulya mengatakan, jika dibandingkan proses pelaksanaan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada 2015, ada beberapa hal yang sudah diperbaiki dalam pelaksanaan Pilkada 2017.
“Misalnya terkait dengan Peraturan Mahakamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” kata Ade di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (22/5/2017).
Ia menambahkan, salah satu hal yang khusus diperbaiki adalah rumusan MK dalam menghitung total syarat ambang batas selisih suara yang akan diberlakukan dalam memeriksa setiap permohonan. Pada Pilkada 2015, rumusan yang diatur MK menghitung ambang batas selisih suara dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan pengaturan di dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015.
Hal ini disebabkan karena Peraturan MK menjadikan total suara pemenang pemilihan sebagai basis angka pengali dengan persentase yang diatur di dalam UU Pilkada. “Ini membuat syarat selisih suara jauh lebih kecil dari apa yang ada semestinya,” ujar Ade.
Sementara itu, untuk Pilkada 2017, disebut ada perbaikannya, yakni Peraturan MK yang sudah sesuai ketentuan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, menjadikan total suara sah sebagai basis angka pengali dengan persentase yang diatur di dalam UU Pilkada, untuk menemukan nominal ambang batas selisih suara.
Di sisi lain, peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki MK dari proses penyelesaian sengketa 2017. “Hal tersebut adalah masih dikesampingkannya hakikat pemeriksaan pendahuluan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU MK,” ucap Fadli.
MK dalam pelaksanaan perselisihan hasil Pilkada 2017 masih menjadikan proses pemeriksaan pendahuluan sebagai proses untuk mendengar permohonan, jawaban termohon, pihak terkait dan pengawas pemilu. “(Tetapi) tidak ada nasihat dari hakim untuk perbaikan permohonan. Padahal nasihat dari hakim terhadap sebuah permohonan adalah suatu hal yang wajib dilakukan oleh MK,” tutur Fadli.
Fadli menambahkan, pada penyelesaian sengketa Pilkada 2017, MK tidak lagi sepenuhnya memberlakukan ketentuan ambang batas selisih suara dalam memeriksa permohonan. “Untuk empat permohonan, Kota Intan Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Tolikara, Tolikara, Kabupaten Kepulauan Yapen, MK disebut mencoba mengenyampingkan ambang batas selisih suara untuk melihat hal yang lebih substansil, dan mendapatkan keadilan pemilu dari proses penyelesaian sengketa hasil yang dilakukan,” tutur Fadli.
(ran)