Menolak Syarat Pemilih Sudah/Pernah Kawin di Dalam RUU Pemilu
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Selasa, 23 Mei 2017 Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu bersepakat untuk tidak merubah ketentuan seseorang dapat memberikan suaranya dibalik bilik suara dengan dua klasifikasi dasar yakni “berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin”. Dari sepuluh fraksi yang ada, hanya fraksi partai Nasdem yang menolak ketentuan sudah/pernah kawin menjadi tolak ukur individu masyarakat dapat dikatakan sebagai pemilih dengan argumentasi tidak sejalan dengan semangat untuk mengikis perkawanin dini.
Secara sepintas dua indikator ini terkesan tidak bermasalah, tetapi jika kita telisik lebih jauh secara global sebagian besar hanya menggunakan indikator umur untuk mengklasifikasikan pemilih dalam pemilu. Ada dua pertimbangan mengapa umur menjadi klasifikasi utama: Pertama, kedewasaan dalam mengambil keputusan, menentukan sikap dan pilihan politik mengingat hasil pemberian suara yang diberikan menentukan wajah pemerintahan serta kebijakan beberapa tahun kedepan suatu negara. Kedua, pertimbangan mengapa umur menjadi klasifikasi syarat pemilih ialah berkaitan dengan administrasi kepenudukan dalam hal ini sudah memiliki identitas kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dianggap sudah dewasa. Dengan kata lain berdasarkan dua pertimbangan ini memilih dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan oleh orang dewasa.
Perbandingan Usia Memilih di Beberapa Negara[1]
Usia Memilih | Jumlah Negara |
16 | 8 |
17 | 3 |
18 | 206 |
19 | 1 |
20 | 5 |
21 | 9 |
Lain-lain | 3 |
Tidak tersedia informasi | 2 |
Ketentuan sudah/pernah kawin sebagai indikator pemilih di Pemilu Indoneisa sudah ada semenjak Pemilu 1955. Secara lebih spesifik pengaturan ini terncatum disetiap Undang-Undang Pemilu, mulai dari Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hal ini dapat dilihat melalui tabel berikut:
Pengaturan Syarat Sudah Kawin
Undang-Undang | Syarat Pemilih |
UU 27/1948, Pasal 3 | Telah berumur 18 tahun |
UU 7/1953, Pasal 1 | Anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh warga negara Indonesia, yang dalam tahun pemilihan berumur genap 18 tahun atau yang sudah kawin lebih dahulu. |
UU 15/1969, Pasal 9 | Warga negara Republik Indonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan umum sudah genak berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hak memilih. |
UU 3/1999, Pasal 28 | Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. |
UU 12/2003, Pasal 13 | Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. |
UU 10/2008, Pasal 19 | Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. |
UU 8/2012, Pasal 19 | Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genak berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. |
UU 42/2008, Pasal 27 | Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genak berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. |
UU 8/2015, Pasal 56 | Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih. |
Dari sudut pandang budaya dan teologis, perkawinan merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh orang dewasa dan ketika individu masyarakat sudah melakukan perkawinan dianggap dewasa sudah mampu mengambil keputusan secara mandiri. Berdasarkan latar belakang tersebut, bisa jadi menjadi salah satu alasan masuknya indikator sudah/pernah kawin sebagai pemilih.
Meski demikian, keberadaan syarat ini nyatanya dianggap sudah tidak relevan lagi seiring dengan perkembangan zaman yang lambat laun sudah meninggalkan perinakahan dini. Jika syarat ini tetap diberlakukan dikhawatirkan justru akan mondorong terjadinya pernikahan dini. Pada sisi lain, syarat sudah kawin ini seakan-akan mengartikan memilih merupakan sebuah aktifitas yang hanya dilakukan oleh individu masyarakat yang sudah menikah. Padahal memilih dalam Pemilu merupakan hak politik yang setiap warga negara berhak untuk memperolehnya. Dari segi teknis pendaftaran pemilih sendiri, syarat ini cenderung membuat proses pendaftaran pemilih menjadi tidak efektif dan efisien. Berangkat dari hal tersebut, sebaiknya pansus RUU Pemilu memikirkan kembali untuk memberlakukan syarat sudah/pernah kawin sebagi indikator seseorang memperoleh hak pilih dalam pemilu-pemilu kedepan.
Contact person:
Titi Anggraini 0811822279
Khoirunnisa Agustiyati 08170021868