Tarik menarik antara pemerintah dan beberapa fraksi di DPR mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dinilai telah menghambat persiapan penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019.
Merujuk pemilihan umum 2014, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan undang-undang pemilu legislatif disahkan pada April 2012 sehingga Komisi Pemilihan Umum mendapat 24 bulan untuk menyiapkan tahapan pemilu.
“Jadi dari segi waktu, kita sudah sangat terhambat kalau kita menggunakan perbandingan pemilu 2014. Mestinya ini jadi motivasi DPR dan pemerintah untuk menyegerakan penyelesaian pemilu sehingga penyelenggara pemilu punya waktu cukup untuk mempersiapkan tahapan pemilu 2019,” papar Titi.
Rapat panitia khusus RUU Pemilu semestinya telah mencapai kesepakatan, pada Senin (10/07) malam, sehingga draf bisa disetujui pada sidang paripurna DPR akhir Juli. Namun, panitia khusus RUU pemilu belum bisa membuat keputusan.
“Tenggatnya hari ini (Senin, 10 Juli 2017) harusnya. Mungkin masih mundur sehari-dua hari,” kata Totok Daryanto, anggota pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
Kebuntuan
Buntunya pembahasan dalam pansus RUU Pemilu disebabkan tarik ulur antara pemerintah dan sejumlah fraksi DPR. Fraksi Gerindra, PAN, dan Hanura, misalnya, semula menghendaki ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ditiadakan.
Belakangan ketiga partai itu mengambil jalan tengah sehingga partai yang bisa mengajukan capres dan cawapres meraih minimal 10% sampai 15% kursi di DPR.
“Kami tetap berpandangan presidential threshold tidak relevan lagi dengan pemilu bersamaan. Masa hasil pemilu legislatif 2014 lalu menjadi legitimasi untuk pemilu 2019? Tapi demi kebersamaan, ada usulan jalan tengah dari Fraksi Partai Hanura. Kelihatannya kami mempertimbangkan untuk ikut ke sana,” kata Supratman Andi Agtas dari Fraksi Gerindra.
Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah beserta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar berkeras agar ambang batas pencalonan presiden dan cawapres dipatok minimal 20% perolehan kursi di DPR dan 25% suara nasional dalam pemilu.
Bahkan, pada Juni lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan “pembangunan politik negara harus konsisten menuju kepada penyederhanaan”.
“Dulu sudah 20 (%), masa kita mau kembali ke nol (%) gitu loh. Mestinya kan semakin ke sana, semakin konsisten, semakin sederhana baik partai politiknya baik pemilunya,” tegas Presiden Jokowi.
Rapat paripurna DPR
Jika pemerintah bersama PDIP dan Partai Golkar berkeras memakai 20% untuk presidential threshold, sementara fraksi-fraksi lainnya tidak sepakat, Totok Daryanto selaku anggota pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Amanat Nasional, berpendapat keputusan bisa ditentukan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Juli mendatang.
“Sebetulnya bisa dibawa ke rapat paripurna DPR kalau nggak ketemu,” ujarnya.
Kendati demikian, Titi Anggraini dari Perludem meyakini kemungkinan jalan buntu akan tetap ada ketika rapat paripurna DPR menyetujui presidential threshold ditiadakan, sedangkan pemerintah bersikuku memakai ambang batas 20%.
Jika demikian, menurut Titi, solusinya ada dua.
“Pertama, memakai undang-undang pemilu yang lama. Tapi kalau kembali ke undang-undang lama, apakah undang-undang itu kompatibel dengan penyelenggaraan pemilu serentak sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi tahun 2014.”
“Kedua, mau tidak mau harus ada titik temu bagaimana caranya,” jelas Titi.
Karena itu, Titi mendesak kedua belah pihak dapat segera mencapai titik temu.
“Kalau mereka tidak segera mencapai titik temu, citranya akan sangat buruk di mata publik kita. DPR dan pemerintah akan dinilai hanya mengedepankan kepentingan partisan ketimbang memberi kepastian hukum terkait pemilu 2019,” tandasnya.