• Post author:
  • Post published:December 4, 2017
  • Post category:Artikel
  • Reading time:4 mins read

BERKALI-KALI Presiden Joko Widodo mengeluhkan banyaknya peraturan perundang-undangan yang justru menjerat diri sendiri. Terakhir hal itu disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2017 di Jakarta, Selasa (28/11/2017) malam.

“Saya sudah pesan kepada wakil rakyat di DPR, tidak perlu membuat banyak undang-undang, nanti justru bertambah ruwet dan menghambat. Buat satu atau dua undang-undang yang berkualitas dan bermanfaat,” tegasnya.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, saat ini terdapat kurang lebih 62.000 peraturan di berbagai instansi. Itu menyebabkan ketidakharmonisan, ketidaksinkronan, dan tumpang tindih peraturan yang satu dengan yang lain.

Para ahli hukum menyebut banyaknya peraturan itu dengan istilah ” obesitas” hukum. Inilah yang membuat pemerintah dan masyarakat tidak bisa bergerak cepat untuk maju. Bangsa ini disandera oleh peraturan bikinan sendiri.

Obesitas hukum pada tingkat undang-undang perlu mendapat perhatian. Undang-undang yang banyak pasal cenderung buruk karena tidak hanya terdapat duplikasi pengaturan, tetapi juga kontradiksi ketentuan.

Di samping itu, banyak hal yang mestinya diatur tetapi tidak diatur, sebaliknya hal yang tidak perlu diatur justru diatur.

Itulah yang terjadi dalam undang-undang pemilu, tidak terkecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019.

Undang-undang ini disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 21 Juli 2017, disahkan Presiden pada 15 Agustus 2017, dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 16 Agustus 2017.

UU No 7/2017 terdiri atas 6 buku, 31 bab, 573 pasal, dan ditambah 3 lampiran. Dalam bentuk dokumen resmi seperti yang tercantum dalam lembaran negara, undang-undang ini terdiri dari 317 halaman undang-undang, 116 halaman penjelasan undang-undang, dan 33 halaman lampiran undang-undang. Inilah undang-undang paling tebal di Republik ini.

Gemuknya UU No 7/2017 sebetulnya bisa dipahami, sebab undang-undang ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemilu serentak 2019 nanti. Inilah pemilu yang membarengkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta presiden dan wakil presdien dalam satu hari H pemilihan.

Oleh karena itu UU No 7/2017 menggabungkan tiga undang-undang pemilu terakhir: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No 15/2011), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No 8/2012), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008).

Sayangnya, penggabungan tersebut dilakukan dengan prinsip “asal gabung”. Pengaturan pelaksanaan tahapan dalam UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 memang sudah disingkronkan. Tetapi UU No 15/2011 diambil secara utuh, lalu disatukan begitu saja, sehingga terjadi duplikasi pengaturan.

Padahal rincian tugas dan wewenang KPU dan Bawaslu dalam UU No 15/2011 sebetulnya sudah diatur dalam bagian pelaksanaan tahapan. Duplikasi ini tidak hanya menjadikan undang-undang gemuk, tetapi juga menimbulkan kontradiksi pengaturan. Hal ini terjadi lenbih karena kemalasan daripada ketidaktahuan pembuat undang-undang.

Soal kedua yang bikin UU No 7/2017 gemuk nan tebal adalah adanya 33 lampiran: pertama, lampiran tentang jumlah anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kbupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota; kedua, lampiran daerah pemilihan DPR dan DPRD Provinsi.

Kedua jenis lampiran tersebut sebetulnya tidak perlu: pertama, Pasal 10 dan Pasal 92 sebetulnya sudah mengatur jumlah anggota KPU dan Bawaslu; kedua, batang tubuh undang-undang juga sudah mengatur prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan.

Ketidakpercayaan pembuat undang-undang kepada KPU dan Bawaslu melatarbelakangi lahirnya lampiran jumlah anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kbupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Padahal jika Pasal 10 dan Pasal 92 itu disertai ketentuan tentang rumus menentukan jumlah anggota, lampiran tak diperlukan.

Sementara kepentingan jadi sebab lahirnya lampiran daerah pemilihan. Pasal 185-197 sudah mengatur jumlah kursi setiap daerah pemilihan dan prinsip-prinsip pembentukannya.

Artinya, berbasis data penduduk dan data wilayah terbaru, KPU sesungguhnya tinggal mengoperasionalkan pasal-pasal terebut untuk membentuk daerah pemilihan.

Namun pembuat undang-undang tidak membiarkan KPU membentuk daerah pemilihan berdasar pasal-pasal tersebut.

Pembuat undang-undang membentuk sendiri daerah pemilihan. Tetapi anehnya yang dibentuk hanya daerah pemilihan DPR dan DPRD Provinsi, sementara daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota pembentukannya diserahkan KPU.

Hal itu terjadi karena pembuat undang-undang mempertahankan daerah pemilihan DPR lama, meskipun daerah pemilihan itu melanggar prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan.

Misalnya, Daerah Pemilihan DPR Jawa Barat III terdiri atas wilayah Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor.

Jelas ini melanggar prinsip integralitas wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 1985, karena antara wilayah Kebupaten Cianjur dan Kota Bogor terdapat wilayah Kabupaten Bogor.

Contoh daerah pemilihan lain yang “meloncat” itu adalah Daerah Pemilihan DPR Kalimantan Selatan II yang meloncati wilayah Kabupaten Banjar.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2017/11/29/12422511/obesitas-undang-undang-pemilu-kemalasan-dan-kepentingan