REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tak yakin dengan keputusannya terkait uji materi presidential treshold (PT) 20 persen. Logika yang dibangun mereka juga dianggap jauh dari logika konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Kalau dilihat putusan yang menguji ambang batas PT kami selaku pemohon melihat, MK tidak yakin dengan keputusanya,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/1).
Menurut Titi, MK bagaikan pengamat politik. Pada putusannya, MK berbicara soal sistem negara presidensial rasa parlementer. MK juga berbicara soal penyederhanaan partai. Titi menganggap, MK tidak fokus dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun berkaitan dengan PT.
Titi melanjutkan, MK sama sekali tidak menyentuk soal rasionalitas dan relevansi PT terkait dengan keberadaan Pasal 6a UUD 1945. Termasuk juga penggunaan suara atau kursi dari pemilihan umum (pemilu) sebelumnya.
“Jadi jika kita lihat, logika yang sangat bisa diterima justru logika dissenting opinion. Bukan karena opini dissenting cocok dengan apa yang kami mohonkan,” katanya..
Ia melihat pendapat yang berbeda dari dua hakim konstitusi itu secara objektif. Logika MK dianggap melompat-lompat terkait dengan PT dan sama sekali terbantahkan soal argumen memperkuat sistem presidensialisme.
“Bagaimana mungkin kita memperkuat sistem presidensial dengan merujuk pada ambang batas dari pemilu terdahulu. Jadi ini yang tidak mampu diyakinkan MK berkaitan dengan putusan ambang batas,” katanya.
Titi menambahkan, MK juga terlihat sangat memaksakan argumennya dengan menarik isu penyederhanaan partai dan isu open legal policy. Dengan menarik-narik hal itu, menurutnya, MK tidak berhasil membangun argumen yang logis tentang mengapa PT konstitusional meski merujuk pada hasil pemilu sebelumnya.
“Terutama yang berkaitan dengan penguatan sistem presidensial. Jadi, kami menghormati keputusan MK, tapi kami merasa logika MK yang digunakan untuk memutus pasal 222 yang tidak bisa kami terima secara logis,” jelas Titi.
Dengan putusan MK bernomor 53/PUU-XV/2017 itu,
Titi berpendapat, maka ke depan akan sulit muncul figur alternatif presiden. Figur yang ada bukanlah yang kita kehendaki.
Ia pun mengaku datang mengajukan uji materi ke MK bukan karena siapa calonnya, tetapi karena memang pemilu itu harus konstitusional. Putusan MK tersebut meragukan menurut Titi soal konsitusionalitasnya.