TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ada beberapa catatan penting Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang harus disampaikan atas putusan MK, khususnya terkait pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Bagi orang yang tidak belajar hukum sekalipun, akan dengan sangat mudah memahami, bahwa konstitusi mengunci dan mengatur secara jelas dan tegas, bahwa yang berhak mengajukan pasangan calon presiden adalah setiap partai politik yang sudah ditetapkan oleh peserta pemilihan umum.
Prihal frasa “atau gabungan partai politik” adalah frasa yang bersifat alternatif, yang boleh dilakukan partai, tetapi tidak wajib dilakukan.
Ada derajat yang berbeda antara frasa “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum” dengan “atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”.
Frasa pertama adalah hal yang dijamin oleh konstitusi untuk dilaksanakan.
Perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden, itu menjadi pilihan bagi partai politik. Hal ini yang dijelaskan di dalam frasa kedua.
Sekali lagi, mahasiswa hukum tingkat pertama pun akan dengan sangat mudah memahami ini. Bahkan, orang y yang tidak belajar hukum sekalipun bisa dengan sangat mudah menjelaskan makna Pasal 6A Ayat (2) UU NRI ini.
Selain itu, kata Titi, di dalam pertimbangannya juga, terkait dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, MK dalam pertimbangannya poin [3.14], halaman 124-125, mengalami lompatan logika yang sangat tidak tepat.
Berita terkait: Perludem: Ada Lompatan Logika MK Soal Presidential Threshold
MK secara tiba-tiba memaknai Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai constitutional engineering, mendorong partai-partai yang memiliki platform, visi atau ideology yang sama atau serupa berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden sebagai jabatan eksekutif puncak dalam presidensial.
“Ini lompatan logika yang sangat tidak tepat. MK tidak memperhatikan dan mempertimbangkan frasa yang menjadi kunci di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yakni” pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum” jelas Titi kepada Tribunnews.com, Jumat (12/1/2018).
Padahal ini, imuhnya, hal prinsipil sebagai hak partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan presiden.
MK justru fokus ke frasa “gabungan partai politik” yang merupakan norma alternatif yang tidak bisa dipaksakan kepada partai politik.
Lebih lanjut ia mengatakan, hakim MK yang notabene adalah negarawan yang paham hukum dan konstitusi, bergelar professor dan doktor, pastinya mahfum terhadap hal ini. Tak perlu ragukan itu.
Namun, entah mengapa, lompatan logika MK ke constitutional engineering untuk penguatan sistem presidensial tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak disebutkan eksplisit di dalam konstitusi.
Lagi pula, argumentasi MK terkait dengan penguatan sistem presidensil, dengan membentuk pencalonan presiden, jelas merupakan salah satu yang tidak ada hubungannya dalam teori ilmu politik.
Karena, presiden dalam sistem pemerintahan di Indonesia sudah memiliki posisi dan kewenangan yang kuat, apalagi dengan dipilih langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung.
Sama halnya dengan DPR, lanjutnya, setiap anggota DPR adalah orang yang dipilih langsung oleh rakyat. Memiliki mandat yang sama.
“Desaian pendistribusian kewenangannlah kemudian yang menjadi penyeimbang, agar terbentuk check and balances antar organ kekuasaan negara,” jelasnya.
“Hal ini yang tak dipertimbangkan mendalam dan dijelaskan dalam putusan MK, kalau memang MK ingin bicara penguatan sistem presidensil,” tegasnya.
Dalam putusannya MK juga tidak konsisten dalam menafsirkan makna sistem presidensil. Dalam pertimbangannya MK sudah menyebutkan bahwa presiden dan DPR memiliki kewenangannya masing-masing.
Untuk itulah sudah seharusnya pemilihan diantara keduanya tidak saling mempengaruhi. Karena masing2 memiliki mandat yang berbeda.
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer dimana pemenang pemilu legislatif yg membentuk pemerintahan eksekutif. Semakin aneh ketika hasil pemilu DPR pada pemilu sebelumnya lah (Pemilu 2014) yang menentukan pencalonan presiden 2019.
Oleh sebab itu, karena putusan ini adalah sebuah sikap lembaga peradilan, sebagai negara hukum, putusan ini harus dihormati.
Tetapi, sebagai sebuah putusan yang terbuka untuk umum dan berdampak kepada orang banyak, putusan ini tentu sangat terbuka untuk didiskusikan, dikritik, guna melihat sudut pandang yang jauh lebih mendalam secara keilmuan dan akademik.
Sebelumnya, MK menolak uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019.
Partai Idaman juga menilai pasal tersebut tak relevan karena pileg dan pilpres 2019 digelar secara serentak.
Selain itu, Partai Idaman juga menilai pasal tersebut diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan capres.
Namun, dengan ditolaknya uji materi yang diajukan Partai Idaman, maka ketentuan pasal tersebut tak berubah dan dinyatakan sah.
Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.
Selain Partai Idaman, ada sejumlah pihak lain yang juga mengajukan uji materi pasal 222 UU Pemilu. Diantaranya adalah Habiburokhman dengan nomor 44/PUU-XV/2017, Effendi Gazali dengan nomor 59/PUU-XV/2017, Hadar Nafis Gumay dengan nomor 71/PUU-XV/2017 serta Mas Soeroso dengan nomor 72/PUU-XV/2017.(*)