Jakarta, Gatra.com – La Nyalla Mattaliti membuat pernyataan kepada media bahwa ada permintaan uang Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Uang itu untuk keperluan saksi ketika mantan ketua umum PSSI itu hendak mencalonkan diri di Pemilihan Gubernur Jawa Timur.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra bidang Hukum, Habiburokhman mengatakan permintaan uang saksi senilai Rp 40 miliar itu adalah hal yang masuk akal. Sebab menurutnya sudah banyak orang yang menghitung dan high cost dalam politik itu menurutnya sesuatu hal yang sangat beralasan.
“Bagaimana mau maju kalau kita tidak punya saksi. Pak Prabowo itu mungkin menanyakan kalau kamu (La Nyalla) mau maju (Pilgub Jatim) saksinya bagaimana. Siap tidak untuk pembiayaan saksi,” kata Habiburokhman dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/1).
Menurutnya high cost dalam politik di Indonesia adalah persoalan bersama. Bahkan Partai Gerindra dulunya mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan di DPRD dengan alasan high cost politik. Namun tawaran Gerindra itu ditolak dan hingga saat ini belum ada solusi terkait high cost politik tersebut.
“Yang menemui masalah ini bukan Gerindra saja. Bukan Pak La Nyalla saja yang khawatir dengan kondisi ini. Kami dan juga Pak Prabowo juga prihatin,” katanya.
Berita lainnya: Perludem Nilai MK Tidak Konsisten Putuskan Dua Pasal UU Pemilu
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan politik berbiaya tinggi adalah tantangan besar yang harus ditaklukkan di Indonesia. Dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu, Perludem pernah mengusulkan pembatasan biaya kampanye sehingga betul-betul mengerem belanja dalam Pilkada. “Tapi sayangnya, tidak diakomodir dalam pembuatan Undang-Undang,” kata Titi.
Terkait pernyataan La Nyalla mengenai uang Rp 40 miliar untuk pembiayaan saksi, menurut Titi tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Walaupun berulang kali Partai Gerindra menyatakan itu bukanlah mahar politik. Sebab praktek korupsi kepala daerah berawal dari hal yang seperti ini.
“Ketika terpilih dan berkuasa dia akan melakukan upaya untuk mengembalikan modal besar yang ia keluarkan ketika Pilkada. Jadi ketika biaya Pilkada hanya dibebankan kepada calon dari hulu ke hilir termasuk menggerakkan mesin partai, maka sangat rasional kemudian ketika biaya besar itu akan dia kejar kembali untuk impas ketika dia berkuasa,” katanya.
Gaji kepala daerah tidak akan sebanding dengan uang yang dikeluarkan ketika Pilkada. Maka hal-hal menyimpang pun mulai dilakukan ketika menjadi kepala daerah.
“Misalnya saja yang tampak selama ini seperti manipulasi perizinan, jual beli jabatan birokrasi, memalak proyek infrastruktur, dan permufakatan korup lainnya yang melibatkan kekuasaan dan anggaran yang dia kelola. Karena kepala daerah punya akses ke anggaran, punya akses ke kebijakan, punya akses ke birokrasi. Ketika uang di Pilkada yang dikeluarkan begitu besar itulah yang akan dia manipulasi,” tegas Titi.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah mengatakan membentuk satgas anti politik uang bekerjasama dengan KPK untuk melawan praktek jual beli suara, dan mahar politik. “Saya kira momentum La Nyalla ini harus digunakan Kapolri untuk membuktikan komitmennya untuk memberantas politik uang termasuk di dalamnya mahar politik,” pungkas Titi.