SAYA kerap diundang jadi narasumber lokakarya atau pelatihan calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Sebelum menyampaikan materi, saya sempatkan mengajukan beberapa pertanyaan ke peserta.
Siapa di antara ibu-ibu yang sudah membaca undang-undang pemilu, mohon angkat tangan? Beberapa segara memenuhi permintaan saya, tetapi banyak juga yang ragu-ragu.
Lalu saya bilang, tidak usah malu, saya tahu persis banyak anggota dewan yang belum pernah membaca undang-undang permilu. Yang penting ikut pemilu dan menang, bukan membaca undang-undang pemilu. Toh tak ada tes undang-undang pemilu buat caleg.
Rupanya pernyataan yang saya lontarkan sambil tertawa tersebut dapat menghilangkan keraguan peserta. Yang mengangkat tangan pun lebih banyak. Separuh lebih.
Setelah mereka menurunkan tangan, kepada mereka saya ajukan pertanyaan: di antara ibu-ibu yang sudah pernah membaca undang-undang pemilu, siapa yang sudah paham dengan isinya?
Nyaris tidak ada yang angkat tangan. Mereka malah saling bicara, saling tunjuk, bikin keributan kecil. Saya paham, pertanyaan yang saya lontarkan bersifat kualitatif, sehingga tidak mudah untuk menjawabnya.
Saya pun membalik pertanyaannya: di antara ibu-ibu yang sudah membaca undang-undang pemilu, siapa yang yang belum paham isinya? Ruangan pun riuh, dan tanpa ragu mereka yang tadi angkat tangan, kini angkat tangan lagi.
Saya pun minta semua peserta tepuk tangan atas kejujuran kita. Sebab, kata KPK jujur itu hebat.
Selanjutnya kepada para peserta saya mengatakan, ibu-ibu memang tidak perlu malu mengakui tidak paham undang-undang pemilu meski sudah katam membaca, bahkan sudah membaca berkali-kali. Sebab, Anda tidak sendirian.
Jangankan ibu-ibu para caleg perempuan, para caleg laki-laki yang katanya sudah malang melintang di dunia poitik pun sulit memahami undang-undang pemilu. Dalam forum seperti ini, mereka juga mengakui. “Bikin pusing saja ini barang,” katanya.
Jangankan para politisi, penyelenggara pemilu pun sering dibikin pusing oleh pasal-pasal yang tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan. Ibu-ibu tentu sering mendengarkan keluhan mereka melalui media massa, cetak maupun elektronik.
Nah, ini yang lebih menggelikan lagi: para pembuat undang-undang pun sering dibikin ribut oleh pasal-pasal yang dibuatnya sendiri. Aneh bukan? Tetapi itulah faktanya.
Membuat undang-undang pemilu memang tidak mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi: ketentuan konstitusi, kesepakatan pembuat undang-undang tentang sistem pemilu, dan kamampuan legal drafter.
Ketiganya saling terkait dan berkelindan dalam perancangan, pembahasan (termasuk perdebatan di dalamnya), dan perumusan.
Pertama, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan ayat (2) menyatakan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta anggota DPRD.
Perhatikan, ayat (1) menggunakan kata “dilaksanakan” sedangkan ayat (2) menggunakan kata “diselenggarakan”. Bagaimana pembuat undang-undang memaknai dan menggunakan nomenkelatur “dilaksanakan” dan “diselenggarakan” tersebut?
Jika kita baca undang-undang pemilu, termasuk UU No 7/2017, maka jawabnya jelas: kedua konsep tersebut digunakan secara sembarangan, sehingga kita tidak bisa membedakan mana masuk kategori “dilaksankaan” dan mana masuk kategori “diselenggarakan.”
Dari penggunaan nomenkelatur saja sudah tidak jelas. Makanya bisa dimengerti kalau banyak orang tidak bisa dengan cepat memahami undang-undang pemilu.
Kedua, di mana-mana di dunia ini, pembahasan substansi undang-undang pemilu itu berasal dari pengaturan sistem pemilu. Sistem pemilu adalah saling hubungan antar variabel (perangkat teknis) pemilu untuk mengubah suara (pemilih) menjadi kursi (calon terpilih).
Para akademisi membedakan lima variabel pemilu: besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas perwakilan, serta formula perolehan kursi dan calon terpilih.
Perdebatan soal varibael pemilu tersebut selalu seru karena menyangkut kepentingan masing-masing partai politik.
Namun begitu disepakati, maka 50 persen pengaturan pemilu sudah selesai. Sebab itulah norma utama undang-undang, selebihnya hanya norma pelengkap.
Sayangnya undang-undang pemilu tidak merumuskan norma utama itu dalam satu kesatuan bab atau bagian, tetapi disebar di banyak pasal pelaksanaan tahapan pemilu.
Akibatnya, orang tidak mudah, atau setidaknya tidak bisa cepat memahami undang-undang pemilu. Sebab aturan utama dicampur aduk dengan aturan-aturan teknis pemilihan.
Ketiga, soal legal drafter. Inisiator rancangan undang-undang pemilu selalu dari pemerintah, dalam hal ini kementerian dalam negeri. Meskipun demikian, setiap kali menyusun rancangan undang-undang, Kementerian Dalam Negeri selalu membentuk tim baru yang terdiri dari orang-orang baru.
Akibatnya, para legal drafter tersebut sesungguhnya sedang bekerja sambil belajar. Hasilnya pun tidak maksimal, karena banyak kesalahan dan kekurangan berulang, atau bahkan menciptakan kesalahan dan kekurangan baru.