JAKARTA, KOMPAS.com – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap Polri tak cukup mumpuni untuk duduk mengisi posisi Penjabat Gubernur di daerah selama Pilkada serentak 2018.
“Polri itu karakteristik fungsinya tidak sama sekali menunjang untuk mengisi jabatan Penjabat Gubernur,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini di kantor Sekretariat Iluni Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Menurut Titi, Polri adalah aparat penegak hukum yang bertugas dan berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
“Mereka adalah aparat penegak hukum, penjaga keamanan, ketertiban. Polisi jangan diajak masuk ke pemerintahan yang sebenarnya bukan mandat Kepolisian,” kata Titi.
Karenanya, kata Titi, penting mencari sosok penjabat gubernur yang punya kemampuan dan mumpuni dalam mengelola birokasi serta pelayanan kepada publik.
“Meski waktu Penjabat (Gubernur) tak lama, tak sampai belasan bulan atau tahunan. Tapi dia kan strategis sebagai simbol kepemimpinan daerah dalam jangka waktu tertentu. Nah karena itu kemampuan, kompetensi juga penting,” ucap dia.
Pengangkatan penjabat gubernur dari Polri juga bisa dianggap bisa menurunkan kepercayaan publik kepada korps Bhayangkara tersebut.
“Segala hal yang memicu spekulasi, kontroversi, mengakibatkan ketidakpercayaan pada aparat penegak hukum, mengurangi kepercayaan kepada institusi pengamanan, mestinya ditinggalkan, tidak dilakukan,” kata dia.
“Sangat disayangkan, usulan pengangkatan personel Polri aktif sebagai penjabat gubernur bertentangan dengan berbagai produk perundang-undangan,” tambahnya.
Diketahui sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat.
Sedangkan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Keduanya akan mengisi kekosongan jabatan karena masa jabatan dua gubernur di daerah tersebut berakhir pada Juni 2018.
Di saat yang bersamaan, belum ada Gubernur baru yang menggantikan karena pilkada di dua daerah itu baru dimulai pada akhir Juni.
Namun, usulan tersebut menuai polemik karena dianggap dapat mengganggu netralitas TNI/Polri di Pilkada.
Mendagri beralasan, penunjukan jenderal aktif ini karena wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat memiliki potensi kerawanan jelang pilkada.
Tjahjo memberi contoh, pada Pilkada 2017, ada dua daerah yang dianggap rawan, yakni Provinsi Aceh dan Sulawesi Barat.
Kemendagri saat itu juga menunjuk penjabat gubernur dua daerah tersebut dari kalangan TNI-Polri.
Di Aceh, penjabat gubernurnya adalah Mayjen TNI (Purn) Soedarmo yang menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Sementara itu, di Sulbar, penjabat gubernurnya adalah Irjen Carlo Brix Tewu. Saat itu, Carlo menjabat Plh Deputi V Bidang Keamanan Nasional Kemenko Polhukam dan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam.