• Post author:
  • Post published:February 3, 2018
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

Kemampuan polisi menduduki jabatan Gubernur dipertanyakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Perludem menganggap Polri tak cukup mumpuni untuk duduk mengisi posisi Penjabat Gubernur di daerah selama Pilkada serentak 2018.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menyatakan karakter polisi sama sekali tidak menunjang untuk mengisi jabatan Penjabat Gubernur.

Sebab, jabatan Gubernur adalah mengelola birokrasi dan melayani publik.

Sedangkan Polri adalah aparat penegak hukum yang bertugas dan berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Maka, penting mencari sosok penjabat gubernur yang punya kemampuan dan mumpuni dalam mengelola birokasi serta pelayanan kepada publik.

“Nah karena itu kemampuan dan kompetensi juga penting,” ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.com, di Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (1/2/2018).

Selama ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemedagri) melontarkan ide mengangkat perwira polisi aktif untuk mengisi jabatan Gubernur karena kosong. Alasannya, mereka kekurangan sumber daya manusia (SDM).

Kemendagri mengusulkan Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan sebagai pejabat Gubernur Jawa Barat. Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin diusulkan sebagai pejabat Gubernur Sumatra Utara.

Pemungutan suara dalam Pilkada Serentak bakal digelar pada 27 Juni 2018. Masa jabatan gubernur di Sumatra Utara akan habis 15 Februari nanti. Sedangkan di Jawa Barat, masa jabatannya akan habis pada Juni 2018.

Ide Kemendagri ini juga berpotensi melanggar aturan. Kemendagri memakai dasar pasal 201 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada untuk menaruh perwira polisi dalam jabatan Gubernur.

Aturan ini menyebutkan,

Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil tafsiran Kemendagri itu tak tepat. Sebab, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pengertian pegawai tingkat madya mengarah pada sekretaris jenderal kementerian dan sekretaris utama.

Pada penjelasan pasal 19 ayat 1 disebutkan, pegawai tingkat madya juga termasuk sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan.

Bisa juga staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Dengan penjelasan ini, jika Menteri Dalam Negeri mengajukan selain jabatan yang ada di atas, artinya tidak berkesesuaian. “Dan berpotensi melanggar UU Pilkada itu sendiri,” kata Fadli seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (26/1/2018).

Aturan lain yang berpotensi dilanggar adalah Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Pada pasal 18 ayat 3 disebutkan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Keputusan pengesahan dua pejabat Gubernur ini ada di tangan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo. Namun Jokowi belum mau memberi tanggapan. Sebab, usulan ini belum masuk ke meja Presiden.

Jokowi mengatakan, banyak yang berprasangka buruk dengan ide ini walau belum diputuskan.

“Yang dulu-dulu juga enggak ada masalah. Dulu juga banyak loh yang dari TNI, dari Polri, ya biasa-biasa saja,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dari Setkab.go.id, Rabu (31/1/2018).

Dia mempertanyakan mengapa baru sekarang isu ini ramai.

Sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/kemampuan-polisi-menjabat-gubernur-dipertanyakan