• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

Jakarta – Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil untuk MD3 menilai sejumlah materi dalam Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang telah disahkan, bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Salah satunya adalah ketentuan yang mengatur bahwa pengkritik DPR dapat diberiksan sanksi pidana.

Koalisi ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, dan Indonesia Parliamentary Center (IPC), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Fitra.

“Kami menilai ketentuan ini adalah bentuk kemuduran luar biasa dalam pembangunan negara demokrasi di Indonesia,” ujar Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil di kantor ICW, Jakarta Timur, Rabu (14/2).

Dengan ketentuan tersebut, kata Fadli, sangat memperlihatkan bahwa anggota DPR dan elite politik hanya siap berdemokrasi terbatas hanya untuk perebutan kekuasaan saja. Namun, kata dia, ketika hendak dikontrol, diawasi dan dikritik oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan justru diancam dengan sanksi pidana.

“Ini adalah logika yang sangat sesat dan menyesatkan dari anggota DPR, dan termasuk juga Kementerian Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah yang menyetujui ketentuan ini. Bagaimana mungkin DPR yang harusnya dikontrol oleh masyarakat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya, justru mengencamkan sanksi pidana kepada pemilik kedaulatan itu, ketika sang pemilik kedaulatan hendak menagih dan meminta apa yang harus dilakukan oleh wakil mereka?,” terang dia.

Selain itu, kata Fadli, ketentuan pemanggilan paksa dan penyanderaan 30 hari terhadap orang yang tidak mau dipanggil oleh DPR juga kontroversial. Pasalnya, ketentuan ini akan merusak sistem penegakan hukum di Indonesia.

“Dalam sistem penegakan hukum yang pro justitia, penahanan terhadap seseorang hanya dapat dilakukan jika sudah terdapat dua alat bukti yang mengarahkan bahwa seseorang tersebut adalah pelaku tindak pidana,”tandas dia.

Menurut dia, penahanan juga mesti dikuatkan dengan tiga alasan objektif lainnya. Pertama, ada kekhawatiran tersangka akan mengulangi tindak pidana yang sama. Kedua, tersangka akan menghilangkan atau merusak alat bukti dan ketiga tersangka akan melarikan diri.

“Selain itu, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang diancam sanksi pidana lima tahun atau lebih. Lalu, penyanderaan yang diperintahkan kepada kepolisian terhadap orang yang menolak dipanggil oleh DPR ini ada di posisi dan status hukum yang seperti apa? Ini tentu ketentuan yang sangat keliru,” tegas dia.

Lebih lanjut, Fadli mengatakan ada materi UU MD3 yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Materi tersebut terkait pemeriksaan dan permintaan dari penegak hukum terhadap anggota DPR harus melalui pertimbangan MKD sebelum izin presiden.

“Materi revisi ini adalah bentuk perlawanan terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014,” kata dia.

Di dalam putusan MK, disebutkan dengan jelas bahwa, pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu mengajukan izin atau pertimbangan kepada MKD, melainkan cukup kepada presiden.

“Kemungkinan perluasan terhadap pertimbangan MKD untuk permintaan keterangan terhadap penegak hukum terhadap anggota DPR justru akan berdampak pada terhambatnya proses penegakan hukum, dan membuat ketidaksamaan perlakukan negara terhadap setiap warga negara dihadapan hukum,” pungkas dia.

Sumber: http://www.beritasatu.com/politik/478581-revisi-uu-md3-bentuk-kemunduran-demokrasi-dan-egoisme-dpr.html