Meski keterwakilan perempuan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mengalami peningkatan, keberpihakan mereka pada agenda dan isu perempuan masih rendah.
Hal ini lantaran kebanyakan dari kandidat perempuan mencalonlan diri untuk melanggengkan dinasti politik.
Pilkada serentak 2018 setidaknya akan diikuti oleh 101 perempuan, atau 8,85% dari total 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan jumlah ini meningkat -meski tidak signifikan -jika dibanding keterwakilan perempuan dalam dua pilkada sebelumnya. Keterwakilan perempuan hanya 7,47% dalam pilkada 2015, dan 7,17% di Pilkada 2017.
“Yang menjadi tantangan besar adalah, ternyata dari penelitian kami di 2015 dan 2017, calon perempuan tidak serta merta menunjukkan keberpihakan pada agenda dan isu-isu perempuan,” ujar Titi kepada BBC Indonesia, Rabu (21/02).
Perludem mencatat, hanya ada 12 dari 23 calon terpilih dalam Pilkada 2017 yang mengusung isu yang berpihak pada perempuan dan perlindungan anak. Pada 2015, hanya 17 dari 45 calon yang punya keberpihakan pada isu perempuan.
Sayangnya, justru banyak dari kepala daerah tersandung kasus korupsi. Termutakhir, Bupati Subang Imas Aryumningsih terjaring operasi tangkap tangan (OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu pekan lalu.
Menurut Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti, hal ini menjadi bumerang bagi afirmasi keterwakilan perempuan dalam pemilu.
“Masyarakat akan berpikir, perumus kebijakan juga akan berpikir percuma juga ada perempuan ada di situ, toh tidak 100% kepala daerah perempuan yang gender responsive atau gender sensitive mengedepankan isu perempuan” ujar Lena.
Di tambah lagi, ketika menjabat, mereka tidak memperjuangkan afirmasi perempuan.
Salah satu sebab, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana, lantaran motivasi perempuan dalam berpolitik sangat dipengaruhi oleh keluarga, baik dorongan dari suami maupun orang tua, untuk melanggengkan dinasti politiknya.
“Kalau pun di situ ada perempuan, karena kebetulan si para dinasti ini hanya percaya sama lingkungan dan perempuan-perempuan itu mau untuk melakukan itu,” ujar Adit.
Gambaran umum
Berdasar studi yang dilakukan oleh Perludem tentang ‘Potret Perempuan Calon Kepala Daerah dalam Pilkada 2018’, dari 101 perempuan yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU), 49 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 52 sisanya mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah.
Peneliti Perludem, Mahardika mengungkapkan rata-rata kekayaan dari para perempuan ini sekitar Rp10,8 miliar, dengan kekayaan tertinggi dimiliki oleh calon wakil bupati Gorontalo Utara, Suhelah, senilai Rp71,4 miliar.
Sementara, harta kekayaan terkecil dimiliki oleh calon wakil Bupati Parigi Moutong, Yufni Bungkundapu, senilai Rp99,6 juta.
Jumlah itu jauh dibawah rata-rata biaya kampanye yang ditaksir sekitar Rp 15,7 miliar. Adapun di Jakarta, dana kampanye berkisar Rp50-60 miliar.
“Masih ada gap antara kekayaan yang dia punya dan biaya kampanye yang ia ikuti,” cetus Dika.
Ini pula yang kemudian berpotensi menimbulkan politik transaksional.
Berdasar data KPU, kandidat perempuan dengan latar belakang jejaring kekerabatan meningkat, kandidat yang merupakan mantan legislator menurun. Sementara kandidat dengan latar belakang kader partai dan petahana cenderung stagnan.
“Yang bisa kita baca dari kosistennya empat latar belakang kepala daerah: partai masih pragmatis, tidak melihat laki-laki atau perempuan, tapi calon yang punya elektabilitas dan modal untuk jadi kepala daerah.”
“Makanya kita lihat calonnya berkisar ini aja karena mereka yang punya basis dukungan dan modal untuk maju,” jelas Dika.
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Dwi Septiani Djafar mengkritisi hal tersebut. Menurutnya, 40% kandidat perempuan berasal dari jejaring kekerabatan, sementara 25% berlatar belakang sebagai pengusaha.
“Dua hal ini mendorong perempuan yang sudah elit politik untuk terus menjadi elit politik, Tapi perempuan yang merupakan kader dari aktivis atau akademisi harusnya mendapat ruang untuk memasuki posisi elit dalam politik,” tegasnya.
Aditya Perdana dari Pukapol UI mengatakan meski dari sisi jumlah dan kekayaan masih kalah dari kandidat laki-laki, dari sisi kapabilitas, kandidat perempuan setara dengan kandidat laki-laki.
“Perempuan calon kepala daerah memiliki pendidikan yang cukup baik dan mereka berasal dari keluarga terhomat, kelas menengah dengan posisi yang sudah baik.”
“Kemampuan jejaringnya hampir sama dengan kandidat laki-laki. Mereka sudah tahu harus bertemu dengan siapa dan melobi siapa,” ujar dia.
Di menambahkan, para perempuan calon kepala daerah akan mudah membuat strategi untuk menarik dukungan dan simpati, seperti dari pondok pesantren dan para ulama.
“Ini starting point yang sangat penting, karena persepsi kita tentang wanita sebagai pemimpin belum terlalu baik sehingga mendekati tokoh agama menjadi strategi yang penting untuk dilakukan,” jelas Adit.
Hal ini dilakukan oleh calon gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang melakukan safari politik di pondok pesantren di beberapa wilayah di Jawa Timur usai mengumumkan pencalonan dirinya.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa politik dinasti sangat kental dalam pencalonan perempuan sebagai kepala daerah.
Menurut Adit, motivasi perempuan dalam berpolitik sangat dipengaruhi oleh keluarga, baik dorongan dari suami maupun orang tua.
“Sehingga dilihat dari hasil pemilu sebelumnya, sebagian besar yang mendaftar adalah istri dari bupati atau gubernur sebelumnya,” jelas dia.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa politik dinasti merupakan hal yang wajar, seperti yang terjadi di India dan Pakistan, dimana kandidat perempuan menang karena sebagian besar lantaran faktor pengaruh suami atau ayahnya.
“Ke depan, bagaimana caranya agar dinasti politik harus dimaknai dengan meningkatkan kualitas perempuan dalam berpolitik,” tegasnya.
Eksistensi perempuan digugat
Sayangnya, afirmasi keterwakilan perempuan tercederai dengan banyaknya kepala daerah perempuan yang tersandung kasus korupsi.
Menurut Lena, perempuan yang sudah menjabat kepala daerah -dan melakukan korupsi- secara tidak disadari menghambat gerakan perempuan.
“OTT memang tidak teralalu dahsyat seperti 2014 ketika begitu banyak perempuan berderat karena kasus korupsi, baik di legislatif dan di daerah. Ini yang membuat gerakan afirmasi ini mencapai titik nadir karena partai politik tidak lagi peduli.
Adit mengatakan banyaknya kepala daerah perempuan yang terlibat lantaran kasus korupsi, karena terbawa oleh arus politik transaksi.
“Mahar politik, akhirnya menjadi bagian dari politik yang sangat transaksional. Sehingga yang dikampanyekan sekarang adalah bagaimana menghasilkan perempuan yang berintegritas.”
“Kasus seperti [yang terjadi pada] bupati Subang itu menurut saya logis saja untuk mengatakan dia lagi butuh funding untuk jalannya kampanyenya nanti,” ujarnya.
Titi dari Perludem memandang, ketika ada perempuan yang berpolitik kemudian terkena kasus hukum, maka ‘eksistensi keperempuannya juga ikut digugat’.
“Termasuk eksistensi perempuan di politik. Ini adalah perilaku yang tidak adil diterima oleh perempuan,” kata dia.
“Sementara ketika politisi laki-laki terkena masalah hukum, eksistensi dan kehadiran mereka seolah-olah lumrah.”
Menurut Titi, hal ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang positif, sebagai refleksi dari ekspekstasi publik yang besar terhadap integritas politik perempuan.
“Tapi di sisi lain ini jadi rintangan berikutnya: pukulan balik pada gerakan perempuan di politik.”
Ke depan, imbuh Titi, konsolidasi perempuan politik harus diperkuat. Organisasi perempuan yang peduli dengan afirmasi keterwakilan perempuan tak lagi bisa bekerja sendiri-sendiri karena yang kini dihadapi adalah bagaimana mengadvokasi regulasi dan membangun gerakan.
“Karena bagaimanapun, ketika perempuan politik muncul ke permukaan, dia tidak hanya dilihat sebagai politisi, tapi sebagai pembawa politis etis perempuan,” cetus dia.