Jakarta – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai penangkapan dua penyelenggara di Kabupaten Garut telah menjadi noda besar bagi demokrasi. Kedua penyelenggara ini, kata Fadli, mencederai semangat yang digalang KPU dan Bawaslu untuk bekerja profesional, mandiri, transparan, dan akuntabel.
Sebagaimana diberitakan, anggota KPU Ade Sudrajad dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri ditangkap oleh Satgas Anti Politik Uang Mabes Polri, bersama dengan jajaran Polda Jawa Barat dan Polres Garut Sabtu (24/2). Keduanya disangka menerima suap terkait kewenangannya dalam penyelenggaraan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Garut yang tahapannya sedang berjalan.
Keduanya disangka menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah yang sedang berlangsung di Kabupatan Garut.
“Jangankan menerima suap, bertindak, bersikap, dan berperilaku yang berpotensi menimbulkan dugaan tidak netral, dan tidak profesional saja adalah hal yang harusnya haram dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Namun, jika sudah sampai menerima suap, dan melakukan tindakan atas kewenangan yang melekat padanya, untuk menguntungkan salah satu peserta pilkada, adalah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi,” ujar Fadli di Jakarta, Minggu 25/2).
Fadli menilai tindakan anggota KPU Garut dan Ketua Panawaslu Garut ini secara terang melanggar kode etik dan peraturan yang mengatur terkait penyelenggara pemilu. Menurut dia, Ade dan Heri melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Pertama, kata Fadli, kedua oknum penyelenggara ini melanggara Pasal 8 huruf (a) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017. Pasal ini berbunyi, “Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak netral atau tidak memihak terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan/atau peserta pemilu”.
“Tindakan yang dilakukan oleh Ade dan Heri Hasan Basri sudah tidak netral karena melakukan tindakan yang berkaitan dengan kewenangannya untuk meloloskan salah satu pasangan calon kepala daerah Kabupaten Garut,” tutur dia.
Kedua, lanjut dia, apa yang dilakukan oleh Ade Sudrajad dan Heri Hasan Basri ini juga diduga melanggar ketentuan Pasal 8 huruf g Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017. Pasal ini berbunyi, “Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa, janji atau pemberian lainnya dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari peserta pemilu, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan tim kampanye kecuali dari sumber APBN/ABPD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
“Sesuai dengan sangkaan awal, kepada dua oknum penyelenggara pemilu diduga menerima mobil dan uang terkait dengan janji atas tindakan yang dilakukan terkait dengan kewenangan yang melekat padanya untuk meloloskan salah satu calon kepala daerah di Kabupaten Garut Tahun 2018,” ungkap dia.
Ketiga, menurut Fadli, Ade dan Heri melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 Pasal 8 huruf j yang berbunyi, “Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu tidak akan menggunakan pengaruh atau kewenangan bersangkutan untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu”.
“Tindakan kedua oknum penyelenggara pemilu ini yang disangka menerima barang dan atau uang dari salah satu peserta pemilihan kepala daerah adalah tindakan berat yang harus segera ditindak,” tandas dia.
Keempat, kata Fadli, tindakan dari dua oknum penyelenggara pemilu ini tentu saja disangkakan melanggar ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal yang disangkakan kepada kedua oknum ini adalah pasal larangan menerima suap kepada penyelenggara negara.
“Kedua oknum anggota KPU ini, berdasarkan Ketentuan UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara, adalah penyelenggara negara yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan. Keduanya adalah anggota KPU Kabupaten/Kota menyelenggarakan urusan pelaksanaan pemilihan umum, khususnya ditingkat kabupaten/kota,” terang dia.
Lebih lanjut, Fadli mendorong KPU dan Bawaslu untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi internal kepada KPU Kabupaten Garut dan Pengawas Pemilu Kabupaten Garut, beserta seluruh jajarannya. Hal ini dilakukan untuk mengungkap secara tuntas praktik pelanggaran yang telah dilakukan oleh kedua oknum penyelenggara pemilu ini.
“Selain itu, karena ini adalah tahun politik di mana tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 dilaksanakan secara bersamaan, maka supervisi, pengawasan, dan evaluasi internal mesti dilaksanakan secara periodik dan berkelanjutan. Ini penting untuk dilakukan, untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran dan tindak pidana oleh penyelenggara pemilu tidak lagi terjadi,” tutur dia.