• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:2 mins read

Kabar24.com, JAKARTA- Meski banyak calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, sistem pemilihan secara langsung harus dipertahankan sebagai legitimasi dari aspirasi rakyat.

Fadil Ramadhanil, peneliti Perkumpulan Untuk Pemili dan Demokrasi (Perludem) mengatakan maraknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK terhadap sejumlah calon kepala daerah menyebabkan beberapa politisi mewacanakan pemilihan bupati, walikota dan gubernur dilakukan oleh DPRD.

“Ini logika yang tidak masuk akal. Harusnya yang mesti dijawab adalah bagaimana menekan biaya politik. Tingginya biaya bukan kehendak sistem dan pemilih tapi pilihan pragmatis elit politik yang menyebabkan biaya politik jadi begitu tinggi. Ada mahar hingga puluhan miliar. Inilah penyebabnya,” katanya, dalam diskusi bertajuk Darurat Integritas Pilkada di Kantor ICW, Jumat (2/3/2018).

Dia melanjutkan, Yg hrs dipikirkan adalah membangun langkah agar biaya politik tidak tinggi misalkan menyusun efektifitas penegakan hukum. “Kalau ada calon memberi uang ke partai, tindaklah partai politik itu. Beri sanksi yang tegas kepada partai,”.

Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan bahwa ada realitas biaya politik menjadi mahal karena partai politik meminta uang ke kandidat dengan perhitungan berdasarkan jumlah kursi dengan harga ratusan hingga miliaran rupiah.

Jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, lanjutnya, maka praktik semacam ini makin subur karena dengan memberikan uang mahar kepada DPRD, tentunya kandidat tersebut bakal terpilih sebagai kepala daerah.

“Pada Pilkada langsung saja mereka mau bayar mahar agar bisa diusung padahal belum tentu dipilih rakyat apalagi klo pemilihan oleh DPRD, pasti mereka mau membayar berapapun karena dipastikan terpilih sebagai kepala daerah. Misalkan kursi DPRD ada 40, dia cukup beri uang ke 21 anggota, sudah terpilih dia jadi kepala daerah,” tuturnya.

Karena itu, pendapat bahwa pemilihan harus dikembalikan ke DPRD merupakan pernyataan yang keliru dan salah melakukan identifikasi masalah utama terjadinya korupsi terkait pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dia juga berharap Menteri Dalam Negeri sebagai pembina partai politik aktif memberikan rekomendasi kepada partai politik guna memperbaiki tata kelola organisasi politik tersebut. Salah satu rekomendasi yang bisa diberikan kementerian tersebut yakni pola penentuan kandidat kepala daerah yang akan diusung oleh partai politik.

“Selama ini tidak ada mekanisme yang baku. Ada yang menggunakan sistem kontestasi, ada yang menetapkan mekanisme pasar siapa bayar tertinggi dia yang diusung. Ada yang berdasarkan elektabilitas dalam survei, dan ada yang berdasarkan pilihan ibu atau bapak pemimpin partai,” pungkasnya.

Sumber: http://kabar24.bisnis.com/read/20180302/15/745356/perludem-jangan-mau-kembali-ke-sistem-pemilihan-oleh-dprd