Pilkada Serentak tahun ini dihiasi banyak tersangka. Hingga awal Maret, sudah ada 7 calon kepala daerah yang berstatus tersangka korupsi.
Mulai dari calon Bupati Jombang (Jawa Timur), Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), Ngada (NTT), dan Subang (Jawa Barat). Lalu ada calon Gubernur Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.
Di sisi lain, menurut pasal Pasal 191 ayat (1) Undang-undang 10 tahun 2016 tentang revisi UU Pilkada, peserta Pilkada dilarang mengundurkan diri. Jika mundur, akan dihukum dengan pidana penjara paling lama 60 bulan dan denda paling banyak Rp50 miliar.
Alhasil, alih-alih disodori calon pemimpin, para pemilih justru ditawari penjahat pengerat duit publik.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyarankan pilihan hukum agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mengganti peserta pilkada berstatus tersangka tanpa perlu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Pertama, KPU bisa mengubah Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dengan memperluas tafsir pergantian calon kepala daerah di pilkada karena ‘berhalangan tetap’.
Aturan itu menyebut, pergantian calon kepala daerah bisa dilakukan oleh partai politik karena dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, dan dijatuhi sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“KPU bisa mengubah makna ‘berhalangan tetap’ itu salah satunya adalah ketika seseorang ditahan karena OTT (operasi tangkap tangan) atau pengembangan perkara,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Jumat (16/3/2018) seperti dinukil dari Kompas.com.
Kedua, pemerintah dan DPR merevisi UU Pilkada secara terbatas. Tapi revisi ini butuh waktu lama dan komitmen pembuat UU. “(Tapi) Kalau (ingin) langkah cepat, ya revisi PKPU,” kata Titi.
Namun Ketua KPU Arief Budiman emoh mengubah PKPU Pencalonan atau mendorong revisi UU Pilkada.
“Saya memandang regulasi yang ada sudah cukup. Ya biar, biarkan saja. Jadi pelajaran bagi siapa pun, harus berhati-hati kalau mencalonkan seseorang,” kata Arief Jumat (16/3/2018) di Jakarta.
Partai politik dapat pelajaran, penyelenggara dapat pelajaran, seluruh stakeholder bangsa ini dapat pelajaran, termasuk pemilihnya.
Arief meminta pemilih cermat dan hati-hati memilih calon kepala daerahnya yang berlaga dalam pilkada. Jika tetap memilih peserta pilkada yang berstatus tersangka, besar kemungkinan pilihannya itu akan masuk penjara. “Kemungkinan besar akan dinyatakan bersalah,” ujar dia.
Arief justru menyarankan calon yang menjadi tersangka korupsi lebih baik didiskualifikasi. Sebab kalau boleh diganti dia menduga kelak masalah ini tidak menjadi perhatian serius. “Siapapun dicalonkan saja, toh nanti kalau ketangkap diganti,” kata Arief dalam diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2018) seperti dipetik dari detikcom.
Arief berpendapat calon kepala daerah yang menjadi tersangka lebih baik didiskualifikasi. Menurutnya, masyarakat perlu dilindungi dari pilihan calon pemimpin yang buruk.
“Rasa-rasanya ditersangkakan KPK itu kan jarang, jarang lepas gitu. Maka masyarakat harus dilindungi. Kalau didiskualifikasi itu ke depan lebih berhati-hati karena risikonya lebih besar,” kata dia.
Tapi diskualifikasi itu tidak bisa sembarangan. Menurutnya diskualifikasi terhadap calon kepala daerah hanya pada kasus hukum tertentu. “Untuk kasus tertentu, misal pembunuhan, itu nanti ahli hukum yang menimbang,” pungkas Arief.
Sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/mungkinkah-calon-yang-tersangka-korupsi-diganti