• Post author:
  • Post published:May 16, 2018
  • Post category:Publikasi
  • Reading time:3 mins read

Pengantar

Penyelenggara pemilu memegang peranan utama sebagai penentu kualitas penyelenggaraan pemilu. Baik dan buruknya penyelenggaraan pemilu dipengaruhi oleh bagaimana penyelenggara dalam menjalankan tugas dan otoritasnya melakukan tata kelola pemilu,baik teknis maupun substantif.Memang terdapat banyak faktor yang memengaruhi kinerja penyelenggara, mulai dari teknis regulasi sampai dengan disain pengorganisasian lembaga penyelenggara.

Namun demikian, tantangan penyelenggara dan penyelenggaran pemilu saat ini,berbeda dari periode pemilu sebelumnya.Perbedaan tersebut, salah satunya dari berubahnya salah satu perangkat teknis sistem pemilu, yaitu waktu penyelenggaraan. Pra kondisi teknis penyelenggaraan yang ditandai dengan pelaksanaan pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak sejak tahun 2015 telah dilakukan. Namun pengalaman pelaksanaan pilkada serentak 2015 dan 2017 dengan segala dinamikanya, tentu tidak sebanding dengan tantangan Pemilu Serentak 2019.

Pemilu Serentak 2019 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden/Wakil Presiden untuk pertama kalinya, menjadikannya tidak sekedar preseden politik dan teknis penyelenggaraan yang sama sekali baru.Lebih daripada itu, memberikan tantangan dan kompleksitas tersendiri bagi penyelenggara pada dua dimensi. Pertama, sejumlah tahapan Pemilu Serentak 2019 yang beririsan dengan tahapan Pilkada Serentak 2018. Kedua, konsentrasi penyelenggara terutama pada 171 daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018.

Di lain pihak, payung hukum baik yang diatur dalam UU 10/2016 dan UU 7/2017 memerlihatkan disain tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu yang berbeda.Seperti Bawaslu misalnya, hari ini Bawaslu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administrasi. Selain itu panitia pengawas pemilu (Panwaslu) di kabupaten/kota yang semula bersifat adhoc, berubah menjadi permanen. Termasuk penyesuaian jumlah keanggotaan penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu di level provinsi dan kabupaten/kota, yang tidak hanya berdampak sekedar rekruitmen penyelenggara, lebih dari itu akan berdampak terhadap penyesuaian struktur organisasi dan tata kerja (SOTK). Fakta ini hendaknya dilihat sebagai tantangan dan sekaligus peluang tersendiri bagi penyelenggara pemilu,dalam upaya meningkatkan kinerja dan kualitas penyelenggaraan pemilu.

Kualitas penyelenggara pemilu dan penyelenggaraan pemilu merupakan hubungan sebab-akibat. Maka dari itu, penting untuk mengevaluasi kedua penyelenggara pemilu di Indonesia, melalui instrumen ataupun kriteria yang terukur. The International IDEA (2006) menawarkan tujuh prinsip dasar untuk mengukur legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu,antara lain: independence, impartiality, integrity, transparency, efficiency, professionalism, dan service-mindedness. Ditinjau dari sisi payung hukum,baik Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945, UU 10/2016, dan UU 7/2017 serta berbagai peraturan ataupun keputusan mengenai kepemiluan di Indonesia, secara normatif maupun implisit mengandung ketujuh prinsip tersebut.Selain itu, tujuh prinsip di atas hendaknya tidak hanya dilihat dari sudut pandang individual penyelenggara pemilu semata, melainkan hubungan saling terkait antara sumber daya manusia dengan disain aturan yang ada.

Berangkat pembacaan atas situasi tersebut di atas, Indonesia Corruption Watch (ICW), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) melakukan studi “Evaluasi Satu Tahun KPU dan Bawaslu Periode 2017 – 2022”. Studi ini dilakukan dalam rangka melihat pelaksanaan fungsi, tugas, dan kinerja dua Lembaga penyelenggara pemilu dengan tujuan utama untuk memetakan potret masalah penyelenggaraan pemilu di Indonesia sebagai bahan rekomendasi kebijakan bagi KPU dan Bawaslu.

Download Attachments