JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melalui kuasa hukumnya mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi Undang-undang Pemilu yang dimohonkan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Menurut Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, Partai Perindo mengajukan permohonan terkait dengan ketentuan penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017.
“Permohonan yang terdaftar dengan nomor registrasi 60/PUU-XVI/2018 ini pada intinya hendak mempersoalkan ketentuan larangan seseorang mendaftar menjadi wakil presiden atau wakil presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan, namun tidak berturut-turut,” ungkap Fadli dalam keterangan persnya, Senin (23/7/2018).
Dijaskan Fadli, Perindo di dalam permohonan secara eksplisit menyebutkan, ketentuan tersebut telah menghalangi partai ini untuk mengajukan kembali JK sebagai calon wakil Presiden Jokowi untuk Pemilu 2019. Atas dasar permohonan yang baru satu kali disidangkan oleh MK dalam forum panel pemeriksaan pendahuluan ini, JK mengajukan diri menjadi pihak terkait.
Atas masuknya JK dalam permohonan ini sebagai pihak terkait, Fadli berharap MK tetap memastikan institusinya, serta seluruh hakim konstitusi tidak akan melibatkan diri dalam kepentingan politik praktis para pemohon dan pihak terkait, terutama terkait dengan proses pencalonan Presiden 2019.
MK mesti bersikap adil dan professional, dengan memproses permohonan yang diajukan oleh Partai Perindo, termasuk dengan sudah masuknya JK menjadi pihak terkait, sesuai dengan prosedur penanganan perkara pengujian UU di MK. MK tidak semata memprioritaskan satu perkara, karena alasan, bahwa putusan itu akan digunakan untuk pencalonan presiden 2019.
“Karena, pada hakikatnya, semua permohonan pengujian UU di Mahkamah Kontitusi adalah penting, dan seluruh pemohon memiliki kerugian konstitusional yang dijelaskan kepada Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam periode mulai 23 Juli hingga awal September nanti, Mahkamah Konstitusi akan disibukkan dengan agenda penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah,” tutur Fadli.
Dilanjutkan dia, terkait dengan substansi permohonan, sesungguhnya tidak ada lagi hal yang perlu diperdebatkan terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya boleh menjabat dua kali untuk jabatan yang sama. Menurutnya, teks konstitusi Pasal 7 UUD NRI 1945 menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Fadli menilai, jika melihat ketentuan ini, sama sekali tak ada keraguan terkait apakah pembatasan masa jabatan yang hanya dua kali untuk masing-masing jabatan presiden atau wakil presiden itu bertururt turut atau tidak. Fokus pembatasan masa jabatan di dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 itu adalah, bahwa seorang warga negara Indonesia, hanya boleh menjabat presiden dua kali masa jabatan, dan hanya boleh menjabat wakil presiden untuk dua kali masa jabatan. Terlepas berturut turut atau tidak.
Dalam konteks sejarah menurut Fadli, pembatasan masa jabatan untuk presiden dan wakil presiden ini adalah untuk memurnikan sistem presidensil di Indonesia, di mana seorang kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki masa jabatan yang pasti, yakni 5 tahun, dan untuk meneguhkan prinsip negara demokrasi yang berlandaskan akan hukum, maka ada pembatasan untuk menduduki jabatan yang sama.
Hal ini juga yang kemudian menjawab pertanyaan, bukankah dalam sistem presidensil yang memegang kekuasaan adalah presiden, dan wakil presiden adalah pembantu presiden? Untuk manjawab ini, tentu perlu diingatkan kembali, pascaamandemen UUD NRI 1945, sistem pemilihan presiden sudah dilakukan dalam konsep pasangan calon, dimana presiden dan wakil presiden dipilih secara bersamaan, dan harus diajukan secara bersamaan sejak awal oleh partai politik pengusungnya.
“Artinya, posisi presiden wakil presiden adalah jabatan yang tidak boleh dipisahkan. Apalagi, wakil presiden adalah orang yang akan menjadi presiden, andai sesuatu dan lain hal terjadi kepada presiden. Dan kuasa seorang wakil presiden sebagai orang nomor dua di republik ini tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan,” ungkapnya.
Selain itu, adanya pembatasan masa jabatan maksimal dua kali untuk presiden dan wakil presiden juga dimaksudkan untuk mempercepat regenerasi politik dan kepemimpinan nasional. Jika tokoh-tokoh politik yang sudah sangat senior masih saja mencari cara untuk tetap mempertahankan kekuasaan, dan bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden kembali, setelah menjalani jeda atau tidak berturut-turut, ini tentu akan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Fadli menganggap, Indonesia telah meneguhkan diri sebagai negara demokrasi yang menjadi rujukan bagi banyak negara lain di kawasan regional maupun global. Indonesia juga telah menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional dengan menerapkan pembatasan kekuasaan untuk mencegah otoritatianisme.
“Langkah pihak-pihak yang berupaya untuk memperluas kekuasaan dengan mengubah aturan pembatasan masa jabatan wakil presiden selain tidak sejalan dengan semangat reformasi, juga akan melemahkan proses konsolidasi demokratisasi di Indonesia. Serta berpeluang memundurkan dan mengurangi mutu pemilu dan demokrasi di Indonesia,” tandasnya.