
KPU menghadirkan dua saksi ahli yaitu Direktur Perludem Titi Anggraini dan pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz. Sementara pemohon, M. Taufik diwakilkan oleh tim kuasa hukumnya dari Lembaga Advokasi Hukum Indonesia Raya.
Titi yang menjadi ahli pertama menjelaskan, PKPU yang dibuat KPU sudah sesuai dengan aturan yang ada. Menurut dia, PKPU yang melarang eks napi menjadi caleg, telah melalui mekanisme pembuatan undang-undang yang berlaku.
“Proses pembentukan PKPU sudah diatur secara spesifik di dalam UU No.7 tahun 2017, mau pun peraturan lain yang berkaitan dengan peraturan perundangan antara lain UU No. 12 tahun 2011 tentang tata cara pembentukan peraturan perundangan,” kata Titi di Bawaslu DKI Jakarta, Sunter, Jakarta Utara, Jumat (24/8).
Oleh karena itu menurut Titi, KPU DKI sebagai pelaksana pemilu harus mengikuti peraturan tersebut. Titi menilai, KPU telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada.
“Jadi tugas dan kewenangan kewajiban KPU Provinsi menjalankan pemilu sesuai prinsip pemilu dan juga melaksanakan tugas-tugas yang telah diberikan UU termasuk melaksanakan pemilu sesuai peraturan perundang-undangan yang ada,” kata Titi.
Anggota komisioner KPU DKI Jakarta Nurdin, dalam sidang itu juga mempertanyakan Pasal 4 PKPU yang dipermasalahkan Taufik. Menurut Titi, Pasal 4 yang menjelaskan soal larangan eks napi korupsi menjadi caleg sudah tepat.
Selain itu, Titi justru mempertanyakan forum sidang ajudikasi yang difasilitasi oleh Bawaslu ini. Menurut Titi, sidang ajudikasi dilakukan jika KPU melanggar aturan dalam melaksanakan tugasnya. Bukan menafsirkan isi PKPU yang sudah diundangkan Kemenkumham itu.
“Justru menjadi soal kalau KPU DKI menyimpangi aturan main yang ada. Karena peraturan KPU adalah atribusi dari undang-undang. Mekanisme bagi pihak keberatan adalah ke Mahkamah Agung. Justru bermasalah kalau kpu tidak mengikuti aturan yang ada,” kata Titi.
Ketua DPD DKI Jakarta M Taufik menggugat KPU ke Bawaslu DKI karena tak diloloskan sebagai caleg. Taufik, dinilai tak memenuhi syarat sebagai bacaleg karena pernah menjadi napi korupsi. Syarat soal eks napi korupsi yang tak boleh maju nyaleg itu, tercantum dalam PKPU.
Bawaslu akhirnya menggelar mediasi antara KPU DKI dan Taufik, namun tidak ada titik temu hingga akhirnya digelar sidang adjudikasi.
Dalam kasusnya, Taufik sempat divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan uang negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.