Isu netralitas kepala daerah dan pejabat negara anggota partai politik dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mesti terus disorot. Pasalnya, meski kepala daerah dan pejabat negara tak dilarang untuk menjadi tim kampanye atau mendukung salah satu pasangan calon (paslon), ada aturan yang mesti dipatuhi menurut Undang-Undang (UU) Pemilu. Dua di antaranya, menjalani cuti di luar tanggungan negara satu hari dalam satu minggu dan tidak membuat kebijakan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu kandidat.
“Kepala daerah dan pejabat negara seperti menteri yang notabene adalah anggota partai politik, diperbolehkan menjadi tim kampanye. Hanya saja, ekses dari dukungan sang pejabat atau kepala daerah itu mesti jadi isu krusial,” kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, pada diskusi “Fenomena Dukungan Pejabat Publik dan Kepala Daerah terhadap Petahana dan Potensi Pelanggaran” di Gondangdia, Jakarta Pusat (26/9).
Veri memandang baik deklarasi dukungan oleh pejabat negara atau kepala daerah . Dengan mengutarakan kepada publik, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komite Aparatus Sipil Negara (KASN) dapat melakukan pengawasan terfokus.
“Justru baik, kita tau kalau pejabat publik A mendukung si M, dan kepala daerah B mendukung si X. Bawaslu jadi bisa memetakan dan menyorot itu,” tukas Veri.
Veri meminta agar Bawaslu tak menganggap sepele masalah netralitas kepala daerah dan pejabat publik yang diduga dapat mempengaruhi netralitas ASN di bawah kepemimpinan pejabat negara dan kepala daerah. Penelitian KoDe pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018 terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan, masalah netralitas ASN, penyalahgunaan fasilitas negara dan adanya kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu kandidat selalu menjadi soal.
Bahkan, berdasarkan penelitian KoDe sebelumnya tahun 2008 dan 2013, isu politisasi birokrasi selalu menjadi alasan MK memutuskan pemungutan suara ulang (PSU), penghitungan suara ulang, atau rekapitulasi suara ulang.
Amalia Salabi
Jurnalis rumahpemilu.org