JAKARTA, KOMPAS.com – Masa kampanye calon presiden sudah berlangsung dua bulan lebih. Namun, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini, alih-alih menawarkan politik gagasan dan mengedepankan identitas program sebagai pembeda, para kontestan justru menggunakan politik stigma. Menurut Titi, para kandidat dan elit terjebak dalam kampanye saling sindir, nyinyir, bahkan menerapkan politik sentimen yang menjatuhkan. “ Kampanye yang sudah berjalan dua bulan ini menurut saya terjebak kepada kompetisi lebih mengedepankan politik stigma atau sentimen,” tutur Titi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (28/11/2018) malam. “Seolah-olah menang menjadi satu-satunya target yang harus mereka penuhi dengan mengabaikan tanggung jawab moral dan hukum menjadikan kampanye ruang edukasi masyarakat,” sambung Titi.
Titi menjelaskan, politik stigma atau politik sentimen yakni dengan melekatkan hal-hal negatif pada kontestan lawan. “Mengedepankan emosi ketimbang diskursus program dan gagasan,” kata Titi. Menurut Titi, dengan menerapkan politik sentimen justru akan membentuk kondisi pemilih kita yang tidak kritis. Bukan lagi pemilih yang mampu mengontrol kinerja para penguasa. “Pemilih cenderung serba sentimen dan juga stigma, nantinya akan terbentuk pemilih yang membenarkan tindakan dari orang yang dia pilih dan akan menyalahkan apapun tindakan yang dilakuakan oleh orang yang tidak pilih,” tutur Titi. Bahaya dari politik sentimen, tambah Titi, membuat masyarakat menjadi apatis lantaran melihat kontestasi Pemilu yang tidak menawarkan perubahan atau perbaikan keadaan.
Para pemilih nantinya, akan menjauh, tidak peduli, dan tidak menggangap penting dari aktivitas pemilu. “Alih-alih masyarakat melihat Pemilu dan demokrasi untuk menawarkan perubahan mereka justru menganggap Pemilu yang merusak atau sesuatu yang tidak membawa manfaat,” kata Titi. Titi menuturkan, para peserta Pemilu seharusnya memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Sehingga, saat para peserta dan kontestan Pemilu memenangkan dan mengemban amanah bisa melaksanakan janji-janjinya lantaran ditopang oleh pemilih yang melek politik. Menurut Titi, pemilih yang tidak terinformasi dengan baik tentang latarbelakang dan rekam jejak peserta pemilu, program yang dibawa bisa dipertanyakan kualitas dan legitimasi dari hasil Pemilu. “Produk-produk pemilu dipastikan tidak memenuhi aspirasi yang dikehendaki rakyat, lebih dari itu pemilih atau rakyat tidak bisa mengontrol lagi kekuasaan yang terbentuk dari proses Pemilu itu,” kata Titi.