TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menuturkan kelebihan dan kekurangan jika daftar pertanyaan untuk debat capresdiberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke masing-masing calon.
Sebelumnya, KPU menyatakan akan memberikan daftar pertanyaan ke pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebelum pelaksanaan debat pilpres. KPU beralasan hal ini dilakukan agar setiap pasangan capres-cawapres dapat menyampaikan visi-misi secara maksimal, dan menjawab pertanyaan dengan detail.
Menurut Titi, berikut kelebihan debat dengan format pertanyaan yang telah diketahui masing-masing paslon:
1. Penyampaian visi-misi dan program yang lebih holistik dan komprehensif
Menurut Titi, kampanye adalah penyampaian visi-misi, program, dan atau citra diri peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih. Penyampaian program dan visi-misi itu, kata Titi, dapat membantu pemilih untuk mengidentifikasi kebutuhan dirinya atau komunitasnya dengan apa yang ditawarkan oleh para pasangan calon.
“Pemilih juga tentu dapat membandingkan program yang ditawarkan dengan rekam jejak si pasangan calon,” ujar Titi saat dihubungi, Ahad, 6 Januari 2019.
2. Basis untuk menagih janji kampanye pasca terpilih
Dengan penyampaian program serta visi-misi yang lebih konkret, dalam, dan spesifik, Titi menuturkan para pemilih dapat menggunakan apa yang telah disampaikan paslon sebagai kontrol pasca keterpilihan. Menurut dia, masyarakat akan semakin mudah menggunakan penyampaian program dan visi-misi yang spesifik sebagai basis referensi untuk menagih pemenuhan janji-janji kampanye itu.
“Ketimbang kemudian konsep itu ditawarkan secara mengambang, abstrak, dan juga tidak komprehensif,” ujar dia.
3. Memicu diskursus yang lebih dalam dan lebih substantif
Titi menuturkan penyampaian program yang dalam dan spesifik dapat memicu diskursus yang lebih dalam dan substantif pula di masyarakat. Menurut dia, masyarakat dapat menggali lebih dalam tentang apa yang telah dipersiapkan para calon dalam menyampaikan program-programnya.
“Misalnya data yang digunakan itu valid atau tidak? Apakah sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki oleh masyarakat? Yang ketiga, (program) itu sejalan tidak dengan rekam jejak paslon? Dia punya komitmen ‘A’ ternyata rekam jejaknya memperlihatkan jauh dari janji-janji yang disampaikan,” kata dia.
Lantas apa kekurangannya?
Sedangkan, dalam aspek kelemahan, Titi menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Publik belum terbiasa
Titi mengatakan debat capres dengan format pertanyaan yang telah dipersiapkan baru dilakukan pada Pilpres 2019. Sejak pilpres langsung pertama 2004 hingga 2014, kata dia, pertanyaan debat selalu disampaikan ketika hari H, bukan pertanyaan yang disampaikan dari jauh-jauh hari.
“Apalagi setelah Pilkada 2018 dan pertanyaan pilkada pun seperti itu (spontan). Jadi pasti ada kegamangan dan kebingungan di publik ‘Kok untuk tingkat Pilkada saja pertanyaannya spontan, diterima spontan oleh para peserta, tetapi pilpres yang kepemimpinan skala nasional pertanyaannya disampaikan sebelumnya?’,” kata Titi.
2. Kurang otentik
Selain dari visi-misi dan program para pasangan calon, kata Titi, pemilih perlu melihat pemahaman mendalam dari masing-masing paslon terhadap programnya sendiri. Menurut dia, jawaban terhadap penguasaan konsep, program, dan kepemimpinan masing-masing calon akan menjadi kurang otentik jika pertanyaan itu telah diketahui masing-masing paslon sejak jauh-jauh hari.
“Apalagi dikatakan kalau pemimpin itu harus siap bekerja dalam berbagai medan dengan situasi yang tidak terduga, dengan kondisi di bawah tekanan. Nah harapan-harapan itu akan sulit tercapai kalau memang si calon itu memang sudah melalui pra-kondisi penguasaan atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah disampaikan terlebih dahulu,” kata dia.