TEMPO.CO, Jakarta – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyarankan pemisahan antara pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak daerah. Menurut Perludem, model ini lebih efektif, ketimbang pemilu serentak dengan lima kotak suara sekaligus seperti sekarang yang mengakibatkan banyak.
Direktur Perludem Titi Anggraeni mengatakan mereka telah mengusulkan model pemilu serentak nasional dan daerah ini sejak lama. Pertimbangannya saat itu, adalah efektivitas pemerintahan, di mana penyerentakkan Pilpres dengan Pileg DPR RI dan DPD, diharapkan terjadi efek ekor jas dari calon presiden yang mendorong elektoral partai politik.
“Konsep pemilu serentak itu bukan hanya menyerentakkan tetapi ada dampak tujuan yang ingin diwujudkan dari efektivitas pemerintahan,” ujar Titi saat dihubungi, Ahad 28 April 2019.
Pemilu serentak nasional, menurut Perludem, adalah pemilu untuk memilih presiden, legislatif DPR RI, dan DPD. Sedangkan pemilu serentak daerah untuk memilih kepala daerah, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Kedua pemilu ini, kata Titi, dapat dipisahkan karena secara isu, nasional dan daerah berbeda.
Kedua pemilu ini dipisahkan dengan jarak 30 bulan atau 2,5 tahun. Dengan alasan jarak tersebut cukup bagi penyelenggara pemilu untuk menyelesaikan satu pemilu, dan bersiap untuk mempersiapkan pemilu selanjutnya.
“Dengan demikian kita hanya ada dua pemilu saja. Penyelenggara juga lebih berkonsentrasi untuk menyiapkan segala sesuatunya,” tuturnya.
Terkait efesiensi biaya, adanya dua pemilu ini menurut Titi tak terlalu berpengaruh. Karena saat ini pun, Indonesia memiliki dua pemilu, yakni pilpres dan pileg serentak, serta Pilkada serentak nasional. Sedangkan yang membutuhkan biaya besar dari pemilu adalah logistik pencoblosan, seperti surat suara, dan upah petugas.
Selain itu Titi pun tak khawatir polarisasi akan semakin panjang dengan adanya dua pemilu. Menurutnya faktor polarisasi yang belakangan meruncing, adalah karena aturan ambang batas pencalonan presiden. Perludem, kata dia, menentang aturan tersebut, dan meminta peraturan itu dicabut.
“Jadi efek ekor jas itu akan maksimal kalau parpol masing-masing peserta pemilu itu boleh mengusung capres yang dia usulkan,” tuturnya.