JAKARTA, KOMPAS.com – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) memberi sejumlah catatan terkait penyelenggaraan Pemilu 2019. Menurut Perludem, ada beberapa hal yang harus dievaluasi sebagai bahan refleksi pelaksanaan pemilu ke depan, salah satunya terkait partisipasi perempuan yang belum maksimal. Perludem memetakan, ada sejumlah faktor yang memicu minimnya partisipasi perempuan di Pemilu. “Tantangan perempuan di dalam Pemilu 2019 adalah lemahnya dukungan pendanaan,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam diskusi ‘Menuju Pilkada Serentak 2020’ di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
“Persaingan terbuka antar caleg, termasuk persaingan untuk mengumpulkan dan memanfaatkan sumber daya uang di dalam kampanye, membuat ruang persaingan perempuan dengan caleg laki-laki menjadi tidak setara,” sambungnya. Titi menyebut, mayoritas partai politik masih melakukan proses pencalonan secara tertutup. Hal ini, selain tidak mencerminkan nilai demokrasi, juga berakibat pada rendahnya keterwakilan perempuan.
Tidak hanya itu, persoalan nomor urut calon legislatif juga dinilai menjadi salah satu faktor. Hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukan bahwa 60 persen anggota legislatif terpilih adalah mereka yang bernomor urut 1. Artinya, nomor urut kecil masih sangat berpengaruh terhadap keterpilihan calon. “Sementara di Pemilu 2019, perempuan yang menjadi calon anggota legislatif lebih banyak tersebar di nomor urut 3,5,6,” ujar Titi.
Terkait hal ini, Perludem menyarankan sejumlah hal sebagai evaluasi. Pertama, menata ulang ketentuan afirmasi dengan menempatkan perempuan di nomor urut 1 pada 30 persen daerah pemilihan. Kedua, pemberlakuan syarat minimal jangka waktu tertentu menjadi anggota partai untuk dicalonkan oleh parpol. Selanjutnya, adanya bantuan keuangan partai politik untuk pemberdayaan partai politik. “Terakhir, perempuan ditempatkan pada posisi strategis pengambil keputusan di partai politik,” kata Titi.