• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:5 mins read

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perbaikan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak.

Perludem memohon pengujian Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; serta Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 secara bersyarat. Misalnya, Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu: “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.” Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.”

Kuasa Hukum Perludem Fadli Ramadhanil menyampaikan perbaikan permohonan berupa penguatan argumentasi dasar pengujian pasal-pasal tersebut. Menurut Pemohon, dalam membangun sistem presidensiil yang efektif diperlukan pemilihan presiden/wakil presiden yang diselenggarakan secara serentak dengan pemilihan anggota DPR.

Hal ini selayaknya berlaku juga untuk pemilihan kepala daerah secara serentak bersama pemilu anggota DPRD. Kendati tidak disebutkan secara ekplisit dalam UU Pemilu, sambungnya, dalam kerangka politik bahwa hubungan DPR dan kepala daerah tidak bisa dipisahkan termasuk pula dengan jadwal keserentakan pemilihannya.

“Jika tidak serentak, maka akan mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan dan otonomi daerah,” ujar Fadli dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Palguna didampingi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih selaku anggota majelis di ruang sidang MK, Rabu (16/10/2019) seperti dikutip laman MK.

Fadlli juga menyebutkan bahwa kenyataan bahwa pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD yang tidak diselenggarakan secara serentak tersebut menghadirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda dan ini mempengaruhi pula pada penguatan kerja sistem presidensiil.

Karena itu, pemilihan yang serentak ini seharusnya dapat dilakukan serentak karena tidak ada pembedaannya. Mulai dalam hal asas, prinsip, dan penyelenggara, sampai pada rangkaian kegiatan pemilihannya sama. “Sehingga ini menghasilkan pemilihan yang jauh lebih kredibel dan rasional dalam mewujudkan demokrasi itu sendiri,” ujar Fadli.

Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menilai sistem pemilu serentak dengan model lima kotak tidak sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, desain pelaksanaan pemilu lima kotak pada satu hari bersamaan tersebut, membuat pemenuhan prinsip pemilu demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 telah terlanggar.

Pemohon berpedoman pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah ingin memberikan penegasan desain pemilu serentak adalah sesuatu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap peta checks and balances terutama terkait efektivitas sistem presidensial di Indonesia.

Namun, desain pelaksanaan pemilu lima kotak tersebut berakibat pada lemahnya posisi presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintahan dan pembangunan. Hal ini terjadi disebabkan karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan, sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintahan pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah.

Selain itu, terkait kewenangan dan fungsi pemerintah daerah tidak jauh berbeda dengan kerja sistem pemerintahan presidensial. Dalam perumusan peraturan daerah, kepala daerah dan DPRD membahas secara bersama-sama perumusan suatu peraturan daerah  untuk kemudian memperoleh persetujuan bersama. Hal ini senada pula dengan relasi kerja antara Presiden dan Wakil Presiden dengan DPR dalam perumusan perundang-undangan.

Akan tetapi, pada realitasnya seringkali kesetaraan dan efektivitas ini terganggu karena adanya keterpisahan waktu pemilihan umum kepala daerah dengan pemilihan anggota DPRD. Akibatnya, berdampak adanya politik transaksional untuk kepentingan jangka pendek bagi kepentingan calon kepala daerah.

Tak hanya itu, dampak lainnya adalah inefektivitas pemerintahan daerah karena pemerintahan dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek saja. Dampak terakhir, hal tersebut dapat melemahkan dukungan gubernur terpilih di pilkada oleh DPRD.

Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak yang terbagi atas pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD. Dan dua tahun setelah pemilu serentak nasional dilaksanakan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota.”

Sebelumnya, terdapat uji materi terkait aturan pemilu serentak yang diajukan sejumlah organisasi pemantau pemilu ke MK. Mereka mengajukan permohonan uji materi Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait frasa “Pemilu serentak” dalam pasal itu. Sebab, pelaksanaan pasal itu dianggap telah menimbulkan banyak korban dan mengakibatkan banyak hak warga negara terlanggar.

Menurutnya, desain penyelenggaraan pemilu dengan lima kotak suara seperti yang diinginkan pembentuk UUD 1945, menjadi salah satu dasar MK memutuskan mengabulkan permohonan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 ini perlu diuji dan dipertimbangkan kembali konstitusionalitasnya dari sisi hak-hak konstitusional yang telah nyata-nyata terlanggar.

Pemohon berpendapat pelaksanaan pemilu serentak sesungguhnya telah keluar dari aspek filosofis pemilu itu sendiri sebagai sarana mewujudkan daulat rakyat. Kemudian, berdasarkan aspek sosiologis, terdapat tuntutan untuk mengevaluasi dan memisahkan kembali pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan sebagai respon dari kondisi sosial politik dan fenomena masyarakat akibat pelaksanaan pemilu serentak.

Atas dasar itu, ia berharap Mahkamah dapat menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5da9802a91328/perludem-minta-pemilu-serentak-nasional-dan-daerah-terpisah/