• Post author:
  • Post published:March 12, 2020
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:5 mins read

Siaran Pers
MEMPERTIMBANGKAN ULANG WACANA PENGGUNAAN E-VOTING

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
11 Maret 2020

Wacana penggunaan electronic voting (e-voting) pada pemilu berikutnya kembali muncul. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada diskusi “Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan” di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (9/3), mengatakan bahwa e-voting diperlukan untuk menekan biaya tinggi pemilu.

Selama ini, argumen efisiensi tata kelola pemilu, yakni mengurangi tingginya biaya penyelenggaran, meringankan beban penyelenggara, dan mempercepat proses rekapitulasi suara memang selalu disebut sebagai tujuan yang hendak dicapai dari wacana penerapan e-voting tersebut. Namun pertanyannya, apakah relevan e-voting diterapkan di Indonesia? Apakah terdapat aspek selain efisiensi yang perlu dipertimbangkan dalam wacana penggunaan e-voting?

E-voting memang bukanlah perangkat teknologi informasi yang baru dalam dunia kepemiluan. Salah satu tujuan penerapannya di beberapa negara memang untuk menciptakan efisiensi. Di Brazil, proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara yang melibatkan banyak pekerja dan memicu potensi manipulasi suara, menjadi latar belakang dibalik penggunaan electronic voting machine (EVM). Begitu pula dengan India, EVM yang dibangun oleh para teknisi dalam negeri mengurangi biaya pemilu dengan terpangkasnya anggaran untuk mencetak surat suara bagi 900 juta lebih pemilih India.

Namun demikian, terdapat pula negara-negara yang cenderung meninggalkan penggunaan e-voting. Jerman misalnya, Mahkamah Konstitusi Jerman pada 2009 memutuskan agar e-voting tidak lagi digunakan karena bertentangan dengan prinsip pemilu terutama transparansi proses penghitungan suara. Di Belanda, pada 2006, muncul gelombang protes dan kampanye “we don’t trust the machince” untuk mempertanyakan penggunaan e-voting. Begitu juga di Prancis, beberapa bulan menjelang penyelenggaran Pemilu 2017, Pemerintah memutuskan untuk tidak menggunakan e-voting bagi pemilih di luar negeri akibat adanya ancaman peretasan (lihat https://www.reuters.com/article/us-france-election-cyber/france-drops-electronic-voting-for-citizens-abroad-over-cybersecurity-fears-idUSKBN16D233).

Negara-negara dengan e-voting dan penghitungan suara elektronik atau e-counting pun bukan tanpa masalah. Di Filipina, meski sukses menggelar pemilu dengan e-counting, transmisi elektronik sering dipermasalahkan terkait keamanannya. Di Brazil, mesin e-voting tipe DRE (Direct Recording Electronic) tanpa VVPAT (Voter Verified Paper Audit Trail) selalu mengundang pertanyaan akan keakurasian hasil pemilu.

Dari berbagai kasus yang terjadi, nampak bahwa efisiensi tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan utama untuk memutuskan pilihan penggunan e-voting dalam pemilu. Teknologi informasi dalam pemilu mesti berpijak pada prinsip, bahwa ia difungsikan dalam rangka memenuhi prinsip utama pemilu, yakni bebas dan adil, termasuk menciptakan pemilu yang berintegritas (electoral integrity). Dengan kata lain, apapun pilihan sistem teknologi informasinya, sistem tersebut harus memenuhi prinsip pemilu bebas dan adil. Sistem teknologi yang dipilih pun semestinya merupakan jalan keluar satu-satunya dari permasalahan kepemiluan yang dihadapi oleh suatu negara, dan tak justru menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, pemetaan terhadap permasalahan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan tekenologi informasi yang akan diterapkan.

Di Indonesia, hari pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) disebut-sebut sebagai cara memilih paling demokratis karena mampu menjaga prinsip kerahasian pilihan pemilih dan mendorong transparansi proses penghitungan suara. Pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara, namun ketika penghitungan suara dimulai dengan mekanisme membuka satu per-satu surat suara, pemilih kembali datang untuk menyaksikan proses penghitungan tersebut. Dengan adanya mekanisme penghitungan suara yang dilakukan secara terbuka, secara tidak langsung mendorong hadirnya pengawasan partisipatif pemilih. Jika e-voting diterapkan, tentunya peralihan proses kepada mesin akan meminimalisir dimensi transparansi sekaligus menghilangkan pengawasan partisipatif dari publik karena tidak ada lagi mekanisme penghitungan suara terbuka di TPS.

Dari sini nampak bahwa tahapan pemungutan dan penghitungan suara praktis tidak terlalu ada persoalan yang berarti ditengah mekanisme pemungutan dan penghitungan suara manual. Persoalan baru muncul pada tahapan rekapitulasi berjenjang yang memakan waktu cukup lama dan membuka ruang ketidak akurasian hasil pemilu, baik karena perbuatan tidak disengaja seperti salah tulis, maupun disengaja seperti penggelembungan suara. Pada sisi lain, tahapan rekapitulasi berjenjang sangat minim pengawasan partisipatif publik, tak seperti di TPS. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi rekapitulasi elektronik lebih mendesak untuk diterapkan dibandingkan dengan e-voting.

Berangkat dari hal tersebut, Perludem mendorong Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan beberapa hal berikut.

1. Pilihan penggunaan teknologi informasi harus mengedapankan prinsip pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia dalam rangka menciptakan pemilu yang berintegritas. Pemilihan terbaik bukanlah pemilihan dengan teknologi yang paling canggih, melainkan pemilihan yang memenuhi prinsip-prinsip pemilu, disepakati oleh semua pihak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah pemilu, dan dipahami dengan baik oleh semua pihak. Banyaknya masalah pada tahap rekapitulasi suara menunjukkan urgensi diterapkannya e-rekap, bukan e-voting.

2. Wacana pemanfaatan teknologi informasi perlu dibarengi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan berbagai pihak di dalamnya seperti penyelenggara pemilu, akademisi, dan kalangan masyarakat sipil. Namun, untuk memungkinkan teknologi pungut-hitung dapat diterapkan di Indonesia, ruang bagi penggunaannya mesti diatur di dalam revisi UU Pemilu. Pemerintah dan DPR dapat mengkaji undang-undang pemilu di berbagai negara terkait pengaturan teknologi pungut hitung. UU Pemilu Filipina misalnya, alih-alih menyebutkan secara spesifik teknologi pungut hitung yang boleh diterapkan, UU Pemilu memberikan ruang bagi teknologi pungut-hitung secara umum untuk digunakan. Hal ini akan memberikan fleksibilitas kepada penyelenggara pemilu untuk mengkaji dan memilih teknologi pungut-hitung terbaik untuk Indonesia.

3. Proses adopsi teknologi pungut-hitung mesti dilakukan secara transparan dan akuntabel agar terbangun kepercayaan publik. Pengalaman di berbagai negara, teknologi pungut-hitung digunakan secara bertahap, yakni dari pemilihan dalam lingkup terkecil hingga lingkup terbesar, dan dari teknologi yang paling minim resiko hingga dengan resiko peretasan paling besar. Kesuksesan penggunaan teknologi secara bertahap akan menjadi modal kepercayaan publik dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penyelenggara pemilu.

4. Dibandingkan dengan e-voting penggunaan teknologi informasi dalam bentuk rekapitulasi elektronik e-recap lebih relevan digunakan di Indonesia karena selain tetap membuka ruang pengawasan partisipatif dari publik, rekapitulasi elektronik dapat menghadirikan efisiensi dan mempercepat proses rekapitulasi. Meski demikian, penggunaan e-recap perlu dilakukan secara bertahap dengan persiapan yang matang dan uji coba berulang-ulang guna mendorong kepercayaan publik terhadap sistem e-recap.

Narahubung
Nurul Amalia, Peneliti Perludem: 081213171841
Heroik M. Patama, Peneliti Perludem: 087839377707