JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu, (8/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 48/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Melalui permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, ”Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR” bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum mengatakan ambang batas secara sederhana didefinisikan sebagai syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar bisa diikutkan di dalam pembagian kursi di DPR. Terkait dengan pengujian konstitusionalitas ambang batas parlemen ke MK, sejatinya telah terdapat lima putusan MK sejak 2009 hingga 2018. Dari beberapa permohonan tersebut, hampir seluruhnya mempermasalahkan pengaturan ambang batas parlemen yang menghilangkan kesempatan bagi partai politik yang telah ikut pemilu dan dipilih mendapatkan kursi di DPR. Alasan lainnya adalah ambang batas parlemen tersebut pun membuat suara pemilih yang diberikan pada partai politik yang tidak lolos ambang batas menjadi sia-sia dan terbuang.
Sedangkan dalam permohonan ini, sambung Fadli, Pemohon lebih menitikberatkan pada rumusan 4% yang dijadikan pengaturan ambang batas parlemen dan pengaturan sistem pemilu proporsional dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. Karena dengan adanya aturan ini, banyak suara yang terbuang akibat pengaturan ambang batas yang tidak dirumuskan secara tepat. Sehingga, melahirkan inkonsistensi pengaturan pemilu proporsional.
“Ketika sistem pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional, namun hasil pemilunya menunjukkan hasil yang tidak proporsional karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen. Sehingga ada persoalan mendasar yang mesti dituntaskan dalam sistem pemilu proporsional di Indonesia,” ungkap Fadli melalui video conference dari Universitas Andalas, Padang.
Variabel Sistem Pemilu
Sehubungan dengan perolehan hasil pemilu proporsional, Heroik Mutaqin Pratama selaku kuasa hukum lainnya menyebutkan bahwa Pemohon melihat ada keterhubungannya dengan ketentuan ambang batas parlemen, yakni menjadi salah satu variabel dari sistem pemilu. Ada rumus matematika pemilu yang secara praktik digunakan para ahli dan praktisi yang mendalami politik, pemilu, dan sistem pemerintahan. Dengan demikian, agar ambang batas parlemen tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas maka perlu dipertanyakan argumentasi dasar pembentuk undnag-undang menetapkan besaran 4% yang termaktub dalam UU Pemilu. “Pemohon menelusuri bahwa rumusan angka tersebut tidak terdapat perhitungan yang terbuka, transparan, dan sesuai dengan prinsip pemilu proporsional sebagaimana diatur dalam UU a quo,” jelas Heroik dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra yang didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pembeda Permohonan
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Saldi menasihati bahwa perlunya Pemohon memperhatikan dasar pengujian konstitusionalitas dalam perkara ini karena pengujian serupa telah terjadi pada beberapa permohonan sebelumnya. Atas hal ini, Saldi menyarankan agar Pemohon tidak terjebak pada kesamaan permohonan dengan permohonan sebelumnya dari konteks Pasal 60 UU MK. “Jelaskan pembedanya karena ini tidak disebut sama sekali di permohonan karena dasar permohonan sudah digunakan pemohon sebelumnya,” nasihat Saldi.
Selain itu, Saldi tidak menemukan pasal yang dinilai inkonstitusuonal tersebut dalam konstitusi. Saldi mempertanyakan pada Pemohon mengenai dasar basis dari pengujian pasal tersebut yang dinilai bertentangan dengan 4 norma yang ada dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Saldi mencermati bahwa hampir semua permasalahan konstitusionalitas yang diajukan tersebut didasarkan pada Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, sedangkan pasal lainnya tidaklah ditegaskan argumentasinya.
Kedudukan Hukum
Berikutnya mencermati kedudukan hukum Pemohon sebagai badan hukum privat, Arief mempertanyakan pihak yang berhak mewakili Perludem dalam perkara tersebut, baik di dalam maupun di luar pengadilan. “Apabila tidak ada legal standing maka perlu diperjelas mewakili karena jika ini tidak terpenuhi, perkara ini tidak akan bisa dilanjutkan. Buktinya bisa ditunjukkan di bagian mana dari pernyataan atau alat bukti dari permohonan ini?” tanya Arief pada para kuasa hukum Pemohon.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan agar Pemohon menyerahkan penyempurnaan permohonan selambat-lambatnya pada 21 Juli 2020 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Sumber: https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16437&menu=2