• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menilai, pemerintah akan diuntungkan jika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak direvisi. Keuntungan tersebut terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 dan bertambah kuatnya otoritas pemerintah. “Setidaknya berkaitan dengan dua hal ini. Pilkada tetap di 2024, lalu tetap ada ambang batas pencalonan presiden,” ujar Titi dalam sebuah diskusi daring, Rabu (17/2/2021).

Salah satu poin perubahan dalam wacana revisi UU Pemilu yakni normalisasi jadwal pilkada dari 2024 menjadi 2022 dan 2023. Titi menjelaskan, jika pilkada tetap digelar pada 2024 maka pemerintah akan memiliki otoritas yang makin kuat. Sebab, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2024 akan digantikan oleh penjabat yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri. “Penjabat ada kriterianya. Ada penjabat dalam jabatan madya dan pratama. Itu semua kan muaranya ke presiden,” ungkap Titi.

Selain itu, ambang batas pencalonan presiden yang tidak berubah, sebesar 20-25 persen, akan menguntungkan bagi partai politik yang memiliki perolehan suara dan jumlah kursi yang besar. “Juga ada partai yang diuntungkan dengan ambang batas pecalonan presiden, sebut saja misalnya PDI-P kalau boleh menyebut seperti itu,” tuturnya. Namun, Titi menilai, revisi UU Pemilu dan Pilkada justru tetap diperlukan untuk memperkuat tata kelola pemilu dan demokrasi. Apabila tidak direvisi, ia menilai mutu demokrasi di Indonesia akan makin lemah dan performa partai politik menurun. “Dan yang terakhir, membatasi kualitas dan kuantitas keterlibatan partisipatoris publik,” ucap Titi.

Baca juga: Perludem: Koalisi Jokowi Inkonsisten, Tolak Penjabat di 2020 tapi Setuju di 2024

Stabilitas politik

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai kebutuhan akan stabilitas politik menjadi salah satu penyebab pemerintah menolak revisi UU Pemilu. Menurut Aditya, pemerintah membutuhkan stabilitas politik guna memastikan program vaksinasi dan pemulihan ekonomi dapat berjalan. “Dalam konteks kacamatanya presiden, yang tadi saya bilang, stabilitas politik itu demi untuk memperlancar program vaksinasi ataupun pemulihan ekonomi menjadi sangat penting, rasionalitasnya ada di sana,” kata Aditya, dalam diskusi yang disiarkan akun Youtube Iluni UI, Rabu (17/2/2021). Aditya menuturkan, pilkada yang dapat digelar pada 2022 dan 2023 apabila UU Pemilu direvisi dapat berpengaruh terhadap stabilitas politik. Sebab, Pilkada 2022 dan 2023 terkait erat dengan pertarungan pemilihan presiden pada 2024 mendatang.

Terkait wacana revisi di DPR, sejauh ini hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung perubahan UU Pemilu. Sedangkan fraksi lainnya menolak revisi dan meminta agar pilkada tetap digelar pada 2024. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menegaskan bahwa pemerintah tak ingin UU Pemilu dan Pilkada direvisi. Alasannya, pemerintah tidak mau suatu undang-undang diubah dengan mudah. “Pemerintah tidak menginginkan revisi dua undang-undang tersebut ya, prinsipnya ya jangan sedikit-sedikit itu UU diubah,” kata Pratikno, melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (16/2/2021).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perludem: Otoritas Pemerintah Makin Kuat jika UU Pemilu Tak Direvisi”, https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/19491841/perludem-otoritas-pemerintah-makin-kuat-jika-uu-pemilu-tak-direvisi?page=all.