Merdeka.com – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyoroti angka suara tidak sah dalam pemilu. Sejak 1999, lanjut dia, jumlah suara tidak sah terus meningkat.
Sejak pemilu 1999 sampai pemilu 2019, lanjut dia, suara tidak sah selalu meningkat. Pada 1999 jumlah suara tidak sah sebesar 3,4 persen, 2004 sebesar 8,8 persen, dan pada 2009 sebesar 14,4 persen. Selanjutnya pada 2014 sebesar 10,6 persen dan 2019 sebesar 11,12 persen.
“Ini tentu bukan kondisi yang baik-baik saja,” kata dia dalam diskusi CSIS bertema ‘Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan’, Senin (1/11)
Dia menjelaskan, jika melihat rata-rata global, maka besaran suara tidak sah masih dianggap wajar hanya sekitar 3 sampai 4 persen suara tidak sah. Sementara di Indonesia, misalnya Pemilu 2019 mencapai 11,12 persen atau sekitar 17 juta suara tidak sah.
Kenyataan ini tidak bisa hanya dijawab dengan pernyataan bahwa pemilih Indonesia belum cerdas. Perlu ada penjelasan lain yang lebih substansial. “Kan kita tidak bisa, tidak bijak juga kalau kita menyatakan mungkin pemilih kita belum menjadi pemilih yang cerdas,” ungkap dia.
Menurut dia, patut dicurigai bahwa penyebab kian naiknya jumlah suara tidak sah dikarenakan sistem pemilu Indonesia yang memang kompleks. Sehingga menyulitkan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
“Jangan-jangan memang kompleks sistem pemilu kita. Tadi kombinasi-kombinasi proporsional terbuka, dapilnya besar, digabung semua DPR RI DPRD, DPRD Kabupaten/Kota, DPD, Presiden dalam satu hari yang sama. Jadi mungkin pemilih dikondisikan menjadi rumit dengan situasi yang seperti ini,” tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Merdeka.com dengan judul “Ada 17 Juta Suara Tak Sah, Perludem Nilai Karena Sistem Pemilu RI yang Rumit”, https://www.merdeka.com/politik/ada-17-juta-suara-tak-sah-perludem-nilai-karena-sistem-pemilu-ri-yang-rumit.html