• Post author:
  • Post published:April 1, 2022
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa menjelaskan, putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sifat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menegaskan bahwa DKPP bukanlah pengadilan etik.

Putusan MK tersebut terkait dengan permohonan uji materi Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pemohon dalam perkara itu adalah Komisioner KPU RI masa jabatan 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman.

Keduanya menyoal sifat putusan DKPP yang dalam UU Pemilu disebut final dan mengikat. Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu berbunyi, “Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) berifat final dan mengikat”.

“Menurut saya putusan MK kemarin menegaskan bahwa DKPP bukanlah pengadilan etik,” ujar Khoirunnisa kepada Kompas.com, Kamis (31/3/2022).

Dia menjelaskan, keputusan DKPP memang final dan mengikat tetapi mengikat untuk Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, serta Bawaslu.

Namun, ketetapan dari Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, serta Bawaslu bisa disengketakan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

“Sehingga ketika ada penyelenggara pemilu yang merasa hak elektoralnya terciderai dapat mencari ruang hukum melalui PTUN. Ini penegasan kembali atas putusan MK yang lalu,” ujar Khoirunnisa.

Sebelumnya, Ketua DKPP Muhammad menjelaskan, dengan putusan tersebut, ketika ada putusan DKPP, maka presiden, Bawaslu, dan KPU wajib melaksanakan sesuai tingkatannya.

“Namun misalnya ada penyelenggara pemilu yang merasa dirugikan atas pelaksanaan putusan DKPP melalui keputusan administratif presiden, KPU, dan Bawaslu maka hal inilah yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi, terbuka ruang untuk menggugat,” kata Muhammad seperti dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com.

Permohonan uji materi ini diajukan lantaran Evi Novida dan Arief Budiman merasa dirugikan oleh putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Evi Novida pada 18 Maret 2020 diberhentikan oleh DKPP karena dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat bernama Hendri Makaluasc.

Dia lantas menggugat keputusan presiden yang memberhentikan dirinya dari jabatannya secara tidak hormat ke PTUN. Gugatan itu dimenangkan Evi sehingga dia kembali diangkat sebagai komisioner KPU.

Pada 13 Januari 2021, DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Arief Budiman sebagai Ketua KPU.

Oleh DKPP, Arief dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu karena mengaktifkan kembali Evi sebagai anggota KPU. Arief diadukan ke DKPP karena menemani Evi yang berstatus nonaktif sebagai anggota KPU mendaftarkan gugatan ke PTUN.

Ia juga diadukan karena membuat putusan yang dianggap melampaui kewenangannya lantaran meminta Evi kembali aktif sebagai anggota KPU. Namun demikian, sanksi DKPP hanya berupa pemberhentian Arief dari jabatannya sebagai Ketua KPU, bukan penyelenggara pemilu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perludem: Putusan MK Tegaskan DKPP Bukan Pengadilan Etik”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/31/15502161/perludem-putusan-mk-tegaskan-dkpp-bukan-pengadilan-etik?page=all.