Siaran Pers
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
“Menjaga Konstitusionalitas dan Independensi Pembentukan Dapil dan Alokasi Kursi untuk Pemilu 2024”
Pendahuluan
Rabu lalu (11/1), Komisi II DPR RI melaksanakan Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kemendagri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI, untuk membahas beberapa hal terkait tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Salah satunya mengenai penataan alokasi kursi dan daerah pemilihan (Dapil) pasca keluarnya Putusan MK No. 80/PUU-XX/2022 yang mengembalikan kewenangan pembentukan dapil kepada KPU.
Dalam RDP dan Raker tersebut menghasilkan kesepakatan untuk kembali menggunakan susunan Dapil yang ditentukan pada Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, untuk diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang. Kesepakatan tertera dalam poin 6 yang berbunyi:
Komisi II DPR RI secara bersama dengan Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia bersepakat bahwa Penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) untuk DPR RI dan DPRD Provinsi sama dan tidak berubah sebagaimana termaktub dala lampiran III dan IV Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PERPPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan menjadi bagian isi dari PKPU tentang Daerah Pemilihan. Daerah Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota akan dibahas lebih lanjut secara bersama-sama.
Kesepakatan ini tentu sangat disayangkan, karena alokasi kursi dan bentuk dapil dalam Lampiran III dan Lampiran IV sesungguhnya sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap melalui Putusan MK di atas.
Menyusun Dapil dan Alokasi Kursi yang Proporsional dan Konstitusional
Putusan MK No. 80/PUU-XX/2022 telah membatalkan ketentuan Pasal 187 dan Pasal 189 yang mengatur alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk DPR dan DPRD Provinsi dalam Lampiran III dan IV. Terdapat dua argumentasi utama yang disampaikan oleh MK terhadap pembatalan dua pasal tersebut. Pertama, untuk memastikan pengalokasian kursi dan pembentukan daerah pemilihan sesuai dengan tujuh prinsip yang sudah di atur dalam UU 7/2017.
Selain menghasilkan disproporsionalitas alokasi kursi yang mengakibatkan adanya provinsi yang memperoleh kursi berlebih (over-represented) dan kekuarangan kursi (under-represented) yang berujung pada ketimpangan harga kursi antar daerah pemilihan. Alokasi kursi dan daerah pemilihan yang diatur dalam UU 7/2017 juga melanggar prinsip integralitas wilayah, dalam hal ini terdapat wilayah-wilayah adminstrasi yang digabunkan menjadi satu dapil tetapi tidak berbatasan langsung seperti: Dapil Jawa Barat III dan Kalimantan Selatan II untuk Pemilihan DPR, dan DKI Jakarta 9, DKI Jakarta 10, dan Lampung 3, untuk pemilihan DPRD.
Pada sisi lain, ketika alokasi kursi dan daerah pemilihan sudah ditentukan dalam undang-undang, hal ini tidak cukup adaptif terhadap laju jumlah penduduk dan pemekaran wilayah yang seharusnya beriringan dengan penyesuaian alokasi kursi dan daerah pemilihan.
Kedua, Mahkamah menegaskan bahwa pengalokasian kursi dan pembentukan daerah pemilihan merupakan satu kesatuan tahapan pemilu yang menjadi wewenang KPU dalam menjalankannya. Selain itu, dalam pertimbangannya Mahkamah menegaskan pentingnya pengalokasikan kursi dan pembentukan daerah pemilihan dilakukan oleh KPU secara mandiri sesuai dengan Pasal 22E UUD NRI 1945, guna meminimalisir adanya benturan kepentingan.
Pengembalian kewenangan pengalokasian kursi dan dapil oleh KPU harus dijadikan momentum untuk perbaikan alokasi kursi dan dapil sesuai dengan tujuh prinsip yang ada dan agar adaptif dengan jumlah penduduk dan perkembangan wilayah administratif. Sehingga esensi utama daerah pemilihan sebagai arena kompetisi dapat memberikan ruang setara dan sebagai arena perwakilan dapat meningkatkan derajat representasi penduduk di suatu wilayah administrasi secara berimbang antara jumlah kursi yang diperoleh dengan jumlah penduduk yang ada.
Kesepatakan RDP yang Inkonstitusional
Alih-alih memanfaatkan peluang untuk memperbaiki penataan dapil, namun hasil rapat kerja dan rapat dengar pendapat antara KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dengan Komisi II DPR memilih tetap menggunakan Lampiran III dan Lampiran IV sebagai Dapil DPR dan DPRD Provinsi pada Pemilu 2024 mendatang. Padahal, terang bahwa kedua lampiran dalam UU 7/2017 tersebut inkonstitusional dan Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebutkan perlunya evaluasi terhadap dapil DPR dan DPRD Provinsi untuk Pemilu 2024. Hal ini secara spesifik ditegaskan dalam Putusan MK No 80/PUU-XX/2022 poin 3.15.4 dan 3.16 sebagai berikut:
[3.15.4] Bahwa dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum. Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU. Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU 7/2017. Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemilihan Umum cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD. Sementara itu, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU. Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang. Namun demikian, hal terpenting yang harus dilakukan, dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah [vide Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017].
[3.16] Menimbang bahwa dengan pendirian Mahkamah pada Paragraf [3.15] di atas, oleh karena kewenangan penetapan rincian daerah pemilihan dan alokasi kursi DPR dan DPRD provinsi kembali menjadi wewenang KPU, sementara tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah dimulai sejak tanggal 14 Oktober 2022 dan akan berakhir pada tanggal 9 Februari 2023. Artinya, tahapan dimaksud belum berakhir, Mahkamah perlu menegaskan agar dalam menetapkan daerah pemilihan dan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU 7/2017. Selain itu, dalam penentuan daerah pemilihan dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan a quo dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 dan pemilihan umum selanjutnya.
Bahwa terkait dengan hal tersebut, Mahkamah juga perlu memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan daerah pemilihan, misalnya prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antar daerah pemilihan, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya “harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk masing-masing kursi di daerah pemilihan, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilihan umum. Sehingga, proporsionalitas kursi antara daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dengan daerah pemilihan di Luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional.
Oleh sebab itu, kesepakatan untuk kembali menggunakan Lampiran III dan Lampiran IV mengindikasikan tiga kegagalan memahami Putusan MK No. 80/PUU-XX/2022:
- MK secara tegas mengembalikan kewenangan pengalokasian kursi dan pembentukan daerah pemilihan kepada KPU sebagai satu kesatuan fungsi dalam menyelenggarakan tahapan pemilu;
- Pengembalian fungsi pengalokasian kursi dan pembentukan daerah pemilihan kepada KPU merupakan bagian untuk menjaga kemandirian dari lembaga penyelenggara pemilu dan meminimalisir adanya benturan kepentingan sehingga mampu menghasilkan ruang persaingan yang setara bagi setiap partai politik peserta pemilu;
- Putusan MK secara tegas memerintahkan adanya evaluasi dan perbaikan terhadap alokasi kursi dan daerah pemilihan DPR dan DPRD untuk Pemilu 2024 dengan memperhatikan kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antar daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dengan daerah pemilihan di Luar Jawa.
Berdasarkan uraian tersebut, kami menilai kesepakatan RDP di Komisi II DPR RI bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemedagri, untuk menggunakan kembali Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sebab Putusan MK 80/PUU-XX/2022 secara tegas menyatakan Pasal 187 dan Pasal 189 yang mengatur lampiran III dan IV UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Perlu dipahami, dalam hukum dikenal asas Lex Suprerior derogate legi inferior, dimana peraturan yang mempunyai derajat lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.
Untuk itu kami mendorong KPU untuk tetap melakukan evaluasi dan penataan ulang alokasi kursi dan daerah pemilihan sesuai dengan amanat Putusan MK No. 80/PUU-XX/2022 dan memegang teguh prinsip independensi dalam menghasilkan keputusan salah satunya dalam membuat Peraturan KPU mengenai daerah pemilihan sesuai dengan Putusan MK No 92/PUU-XIV/2016 yang menjelaskan forum rapat dengar pendapat untuk berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis tidaklah mengikat.
Narahubung:
Khoirunnisa Nur Agustyati: 08170021868
Heroik Pratama: 087839377707
Kahfi Adlan Hafiz: 082137051909