Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendengar kabar Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutus perkara gugatan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. SBY mengecam MK apabila akhirnya memutuskan pileg tertutup atau coblos partai.
Menanggapi hal ini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mewanti-wanti MK agar tak buru-buru memberikan putusan. Apalagi menurut Titi, sebenernya perubahan sistem pemilu bukan wewenang MK.
“Kalau dilihat dari substansi norma yang diuji dan juga banyaknya para pihak yang menjadi Pihak Terkait, maka Mahkamah Konstitusi mestinya tidak tergesa-gesa dalam membuat putusan atas perkara pengujian sistem pemilu ini,” kata Titi saat dihubungi, Senin (20/1).
“Sehingga, dengan demikian saya tidak melihat ada peluang dan juga celah MK memutus cepat perkara No. 114/PUU-XX/2022 ini,” imbuh dia.
Titi menekankan, sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup sebetulnya ranah pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. MK dinilai harus bekerja pada ranah atau aspek konstitusionalitas yang memberikan rambu-rambu bagi pembentuk UU dalam membuat pilihan atas sistem pemilu.
Titi melanjutkan, para Pihak Terkait yang berjumlah paling kurang 14 harus diberikan kesempatan yang adil dan berimbang untuk didengar dan membuktikan dalil-dalilnya.
“Memang di beberapa permohonan MK menerapkan persidangan cepat tanpa mendengarkan DPR, pemerintah, ataupun ahli. Namun, itu untuk perkara yang sudah terang benderang dan relatif sederhana,” ujar dia.
“Sangat berbeda dengan perkara sistem pemilu ini yang memiliki banyak dimensi analisisi ataupun implikasi terutama berkaitan dengan berbagai aspek penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, kehati-hatian dan pendekatan yang komprehensif haruslah diutamakan oleh MK,” tambah dia.
Ia pun berharap keputusan MK hanya berupa rekomendasi. Titi tegas berpandangan, perubahan sistem pemilu harus melalui pembahasan pemerintah dan DPR. “Memang pada 2009, MK sempat mengubah metode penentuan perolehan kursi caleg dari harus memenuhi 30% BPP menjadi sepenuhnya berbasis perolehan suara yang paling banyak secara berurutan. Namun, hal itu mestinya tidak diulangi,” kata Titi.
“Sebab, konsekuensi pilihan salah satu variable sistem akan berdampak pada sejumlah aspek teknis lainnya, alias tidak parsial. Maka, mestinya MK cukup bekerja pada memberikan rambu-rambu bagi pembentuk UU dalam menghasilkan norma pengaturan sistem pemilu yang demokratis dan konstitusional, daripada melampaui kewenangan MK dengan memutus satu-satunya pilihan sistem yang dianggap konstitusional digunakan dalam pemilu. Itu bukan ranah MK,” tandas dia.
Siapa yang Gugat UU Pemilu?
Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 saat ini digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD. Mereka adalah:
- Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP)
- Yuwono Pintadi (anggota Nasdem tapi NasDem sebut sudah bukan anggota)
- Fahrurrozi
- Ibnu Rachman Jaya
- Riyanto
- Nono Marijono
Para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
Artikel ini telah tayang di Kumparan.com dengan judul “Perludem Ingatkan MK Tak Tergesa-gesa Putuskan Gugatan Sistem Pemilu”, https://kumparan.com/kumparannews/perludem-ingatkan-mk-tak-tergesa-gesa-putuskan-gugatan-sistem-pemilu-1zs3ZSgXZh8/full