• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:5 mins read

Jakarta – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah.

Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Sidang pendahuluan perkara telah digelar di Gedung MK, Jumat (4/11/2024).

Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Perludem menilai Pemilu serentak dengan lima kotak suara di TPS telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Pemohon menilai pengaturan keserentakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja.

Pemohon menilai pengaturan jadwal pemilu berdampak serius terhadap pemenuhan asas penyelenggaraan Pemilu yang diatur Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Dia mengatakan pengaturan pada UU Pemilu yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden, DPR, DPD, dibarengi dengan Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota telah membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus.

“Akibatnya, ketentuan di dalam undang-undang a quo yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu lima kotak secara langsung sekaligus, telah melemahkan pelembagaan partai politik. Partai menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan,” ujar pengacara pemohon, Fadli Ramadhanil, kepada Majelis Sidang Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan anggota Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.

Pemohon pun meminta Pemilu dipisah menjadi Pemilu Nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden serta Pemilu Daerah untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah. Pemohon juga meminta ada jeda 2 tahun antara Pemilu nasional dengan daerah.

Berikut petitum pemohon:

Dalam Provisi:

1. Mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menjadikan Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon sebagai prioritas pemeriksaan di Mahkamah untuk memberikan perlindungan hak konstitusional Pemohon dan meminimalisir kerugian konstitusional Para Pemohon akan terjadi, serta memberikan kepastian segera untuk kepastian sistem keserentakkan pemilu kedepannya.

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada pelaksanaan pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan pada pelaksanaan pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota”;

4. Menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 Pemungutan suara pemilu diselenggarakan secara serentak bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak, dan dua tahun setelahnya pemungutan suara pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan secara serentak;

5. Menyatakan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

6. Memerintahkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk dimuat di dalam berita negara.

Apabila Majelis Hakim Konsittusi berpendapat lain, kami mohon putusan seadil-adilnya ex aequo et bono.

Nasihat Hakim MK

Hakim MK Enny Nurbaningsih memberi nasihat kepada pemohon. Dia menyoroti permohonan itu masih terkait Putusan 55/PUU-XVII/2019. Dia juga menyebut sistem atau model Pemilu diserahkan kepada pembentuk undang-undang sehingga MK hanya memberikan pilihan.

“Pilihan menyangkut model butuh kajian dan MK hanya meminta untuk lakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk melakukan simulasi terhadap keserentakan ini. Perludem sebagai lembaga kajian kepemiluan seharusnya dapat membangun kajian komprehensif mengenai pemaknaan dan pembatalan dalam mendorong pembentuk undang-undang untuk menyiapkan pembentukan omnibus kepemiluan,” terang Enny.

Berikutnya, Hakim MK Arsul memberikan nasihat tentang skema pelaksanaan pemilu serentak yang dianggap pemohon melanggar UUD 1945. Dia mempertanyakan apakah aturan di UU itu persoalan yuridis atau hanya manajemen partai saja.

“Salah satu argumen Pemohon, pemilu serentak lima kotak melemahkan parpol karena terlena dan terburu-buru seperti hanya kegiatan lima tahun, ini apakah persoalan yuridis atau manajemen perencanannya parpol, ini harus diperjelas dengan hasil studi,” ujar Arsul.

 

 

Artikel ini telah tayang di Detiknews dengan judul “Gugat ke MK, Perludem Minta Jeda 2 Tahun antara Pemilu Nasional dan Daerah”, https://news.detik.com/berita/d-7571787/gugat-ke-mk-perludem-minta-jeda-2-tahun-antara-pemilu-nasional-dan-daerah.