Politik dinasti di Indonesia semakin menguat menjadi penyakit kronis yang sulit diobati. Di balik wajah politik dinasti ini, peran perempuan sering kali diperalat dan direduksi menjadi sekadar simbol keluarga.
Istri, anak, atau kerabat perempuan dari politisi kerap dijadikan ”tameng” untuk menjaga kekuasaan keluarga, bukan sebagai aktor politik yang mandiri dan berdaya.
Praktik ini tidak hanya merendahkan partisipasi perempuan dalam politik, tetapi juga menunjukkan wajah lain dari kekerasan terhadap perempuan dalam dunia politik.
Di balik pencalonan perempuan oleh partai politik tersembunyi kepentingan yang lebih besar: melanggengkan kekuasaan keluarga. Bukan rahasia lagi, banyak perempuan maju dalam pemilihan kepala daerah atau legislatif tidak dipilih berdasarkan kompetensi atau rekam jejak politik mereka, tetapi karena mereka adalah bagian dari dinasti politik.
Mereka adalah ”alat” yang digunakan untuk memperkuat cengkeraman keluarga penguasa. Dengan kata lain, politik dinasti secara terang-terangan menempatkan perempuan di bawah kendali patriarki yang mendominasi dunia politik.
Ironisnya, keterlibatan perempuan ini justru digunakan untuk menutupi praktik oligarki yang semakin mengakar.
Konsep violence against women in politics (VAWP) mencakup berbagai bentuk kekerasan yang dihadapi perempuan dalam ranah politik, termasuk kekerasan simbolis, psikologis, dan struktural (Krook, 2020).
Politik dinasti, dalam kerangka ini, dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk VAWP. Perempuan dalam politik dinasti kerap hanya ditempatkan sebagai perpanjangan tangan kepentingan patriarki tanpa diberi ruang untuk mengembangkan agenda politik yang benar-benar merespons kebutuhan perempuan.
Mereka diarahkan untuk patuh pada garis politik keluarga, bukan mengedepankan suara dan kepentingan sendiri.
Lebih jauh, ini adalah bentuk kekerasan struktural yang mengekang perempuan dalam batas-batas peran yang ditetapkan oleh kerabat laki-laki. Mereka ditempatkan dalam posisi yang nyaman untuk keluarga, tetapi terperangkap dalam struktur politik yang memanfaatkan identitas mereka demi kepentingan kekuasaan.
Perempuan menjadi ”topeng” dari oligarki politik, sementara kebijakan dan agenda yang mereka sampaikan tetap dikendalikan oleh aktor-aktor patriarki.
Suara perempuan dalam politik dinasti pun kerap terdengar ”kosong” karena hakikatnya, suara itu hanyalah gema dari ambisi keluarga yang berkuasa. Jika ini bukan bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan, lalu apa?
Dalam jebakan kekuasaan
Fenomena ini jelas terlihat dalam berbagai kasus di Indonesia. Di tingkat daerah, pencalonan istri, anak, atau kerabat kepala daerah untuk melanjutkan jabatan petahana adalah praktik yang biasa.
Sebagai contoh, dinasti politik di Banten, di mana Ratu Atut Chosiyah—bagian dari dinasti keluarga—pernah menjabat gubernur. Pencalonan anak dan kerabatnya dalam berbagai posisi strategis memperkuat kenyataan bahwa perempuan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan keluarga (Supriyadi, 2020).
Di level legislatif, hal serupa terjadi. Perempuan dari keluarga politik sering dicalonkan sebagai anggota DPR atau DPRD bukan karena kapabilitas, melainkan karena afiliasi keluarga. Ini adalah eksploitasi politik yang terang-terangan mereduksi perempuan menjadi ”boneka” dengan gelar politik.
Mereka seakan-akan memiliki ”kekuatan” dan ”pengaruh”. Padahal, mereka hanya mengikuti arahan dan kepentingan keluarga yang berkuasa.
Kehadiran perempuan dalam politik dinasti lebih sering menutupi wajah sebenarnya dari eksploitasi dan manipulasi politik.
Bagaimana kita memutus mata rantai kekerasan ini? Pertama, regulasi tegas harus diterapkan. Partisipasi perempuan dalam politik harus didasarkan pada meritokrasi, bukan sekadar afiliasi keluarga.
Partai politik harus menjadikan perempuan sebagai aktor politik yang memiliki visi dan agenda konkret. Tanpa regulasi yang jelas, politik dinasti akan terus menggunakan perempuan sebagai ”wajah ramah” untuk mempertahankan kekuasaan.
Kedua, kesadaran kritis masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat harus memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam politik haruslah otentik dan independen, bukan sekadar alat untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.
Perempuan dalam politik dinasti kerap hanya ditempatkan sebagai perpanjangan tangan kepentingan patriarki tanpa diberi ruang untuk mengembangkan agenda politik yang benar-benar merespons kebutuhan perempuan.
Perempuan yang maju di ranah politik harus memiliki landasan kompetensi dan agenda yang nyata, tidak hanya karena mereka adalah bagian dari dinasti.
Politik dinasti yang menempatkan perempuan sebagai alat kekuasaan tidak hanya memperlihatkan kebobrokan sistem politik kita, tetapi juga mempertegas bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam politik bukan lagi soal fisik, melainkan soal penindasan struktural.
Jika praktik ini terus dibiarkan, harapan untuk mencapai kesetaraan jender dalam politik akan kian jauh dari kenyataan.
ANNISA ALFATH
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Artikel ini telah tayang di Kompas.id pada tanggal 07 Oktober 2024 dengan judul “Perempuan sebagai Alat Kekuasaan Oleh Annisa Alfath”, https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/06/perempuan-sebagai-alat-kekuasaan